***

***

Ads

Rabu, 04 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 085

Tio Sun yang mengamuk dengan sibuknya, juga karena waktu itu cuaca sudah mulai gelap, sama sekali tidak melihat betapa orang asing berambut merah tadi kini mengeluarkan sebuah benda mengkilap, yang dipegang dengan tangan kanannya, kemudian membidikkan benda itu ke arah pundak Tio Sun yang masih mengamuk dengan hebatnya, merobohkan semua pengeroyoknya dengan pukulan dan tendangan terukur agar tidak sampai membunuh orang.

Ketika dara yang menonton pertempuran itu dari tempat tersembunyi melihat si rambut merah mengeluarkan benda itu, dia kelihatan kaget sekali dan dengan gerakan cepat dia sudah mencabut sebatang hui-to (pisau terbang) yang bentuknya mungil dan dihias ronce-ronce merah, kemudian secepat kilat dia menggerakkan tangannya.

Pisau kecil itu maluncur cepat, mengeluarkan suara berdesing dan tepat mengenai tangan si rambut merah yang memegang pistol dan sedang membidikkan pistol itu ke punggung Tio Sun.

“Crepp... auwww...!”

Pistol itu terlepas dari tangan si rambut merah yang berteriak kesakitan karena pisau kecil beronce merah itu telah menancap di tangannya.

“Pedro...! Berani kau dan kaki tanganmu mengacau disini, bahkan hendak menggunakan senjata api? Kalau aku menangkapmu dan mengajukanmu ke depan pengadilan, apakah kalian tidak akan celaka semua?”

Si rambut merah yang disebut Pedro oleh dara cantik itu makin terkejut. Dia menoleh, memandang kepada dara itu dan semua teman-temannya yang sudah jatuh bangun oleh hajaran Tio Sun juga terkejut. Mereka semua memandang kepada nona itu yang kini berdiri dengan tegak dan gagahnya bertolak pinggang dan memandang marah kepada si rambut merah.

“Maaf... nona De Gama... maafkan kami...” Pedro kini berkata sambil memegangi tangannya yang terluka.

“Kalian memang berani mati!” Nona itu menghardik lagi, sikapnya penuh wibawa dan kata-katanya seperti menusuk jantung tiga belas orang itu. “Sudah berapa kali kami memperingatkan pimpinanmu agar kalian tidak membikin ribut di sini, dan terutama tidak boleh mengganggu penduduk pribumi. Kembalikan pisauku!” bentaknya.

Sambil menggigit bibirnya Pedro mencabut pisau terbang yang menancap di tangan kanan itu dengan tangan kirinya, kemudian dia melangkah maju, menyerahkan pisau kecil itu, wajahnya masih merah karena mabok, akan tetapi pandang matanya penuh rasa jerih. Dara itu menerima kembali pisaunya, lalu berkata dengan sikap dingin dan memerintah,

“Kalian pergilah!”

“Terima kasih, nona.”

Pedro membungkuk dengan hormat, mengambil pistolnya dan memberi isyarat kepada teman-temannya untuk pergi. Semua temannya juga memberi hormat kepada dara muda itu.






“Pedro, lain kali kalau engkau mendarat dengan membawa pistol, aku tidak akan mengampunimu lagi.” Nona itu menyusulkan kata-kata ancaman.

Pedro membalik, lalu membungkuk, kemudian merekapun pergi menuju ke perahu-perahu yang mereka naiki dan mereka dayung ke tengah lautan di mana terdapat kapal mereka yang berlabuh.

Mereka berdiri saling berhadapan dan berusaha untuk meneliti wajah masing-masing menembus kesuraman cuaca hampir malam, Tio Sun memandang penuh kekaguman. Dara ini masih muda dan cantik sekali, akan tetapi mempunyai wibawa begitu besar dan sanggup mengusir belasan orang laki-laki kasar tadi dengan kata-kata dan ancaman saja, juga dia melihat hui-to yang tadi menancap di tangan si rambut merah dan biarpun dia tidak melihat cara gadis itu menyerang si rambut merah, namun dia maklum juga bahwa dara ini selain cantik jelita dan berpengaruh, juga tentu memiliki kepandaian tinggi.

Di lain fihak, nona itupun memandang Tio Sun dengan kagum, menatap wajah yang membayangkan kesederhanaan, kejujuran dan kegagahan itu, wajah yang biarpun tidak dapat dikatakan tampan, namun juga tidak buruk dan cukup jantan.

Tio Sun yang masih memandang kagum, juga diam-diam dia terheran-heran. Nona ini adalah seorang gadis pribumi, akan tetapi tadi telah menggunakan bahasa orang asing, bahasa orang biadab itu ketika bercaka-cakap dengan mereka! Hal ini tentu saja menambah kekagumannya dan kini dia menjura dengan hormat sambil berkata,

“Banyak terima kasih atas bantuan nona yang telah berhasil menyuruh mereka pergi sehingga keributan ini dapat dihentikan.”

Dara itu tersenyum dan balas memberi hormat.
“Engkau begini sopan dan ramah, taihiap (pendekar besar), sungguh mengherankan bagaimana dapat bentrok dengan mereka?”

Kembali Tio Sun terkejut. Ternyata gadis ini dapat bicara dalam bahasa daerah yang baik sekali! Hal ini membuktikan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang gadis pribumi, akan tetapi bagaimana tadi gadis ini dapat bicara dalam bahasa asing terhadap gerombolan orang kasar itu? Dia makin kagum akan kepintaran gadis ini, maka dia cepat menjawab,

“Nona, sebetulnya tidak ada urusan pribadi antara saya dengan mereka. Saya sedang makan di warung sana ketika saya mendengar jerit seorang wanita. Saya cepat lari ke sini dan melihat seorang gadis nelayan sedang ditarik-tarik oleh dua orang di antara mereka tadi, yaitu yang berambut merah dan pirang tadi. Mereka agaknya sedang mabok, maka melihat gadis nelayan itu berteriak minta tolong dan mereka menggunakan kekerasan, saya lalu mencegah. Kemudian datang teman-teman mereka dan saya dikeroyok.”

“Dan tikus-tikus itu akan mati semua sekiranya taihiap menghendaki. Betapa tidak tahu diri mereka itu!”

Tio Sun terkejut karena ucapan ini jelas menunjukkan betapa tajam pandang mata dara ini dan ini saja sudah jelas membuktikan bahwa dara ini tentu pandai ilmu silat sehingga tahu bahwa dia tadi melayani pengeroyokan mereka itu dengan menggunakan tenaga terukur agar jangan sampai kesalahan tangan membunuh mereka.

“Ah, nona terlalu memuji...!” katanya, akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa hatinya menjadi begini girang mendengar nona ini menyebutnya “taihiap” dan mengetahuinya bahwa dia tadi tidak bersungguh-sungguh menghajar belasan orang itu?

Biasanya, pujian-pujian baginya hanya akan menimbulkan perasaan muak karena sejak kecil dia sudah digembleng ayahnya sehingga dia menganggap pujian orang lain sebagai suatu hal yang amat berbahaya. Jangan mendengarkan pujian, demikian kata ayahnya, karena pujian itu merupakan racun yang dapat membuatmu menjadi tinggi hati dan sombong sehingga mengurangi kewaspadaan. Kini, nona ini memujinya dan baru pertama kali selama hidupnya dia merasa girang dan bangga!

“Saya tidak memuji hanya bicara tentang apa adanya. Taihiap berilmu tinggi dan sudah lama sekali saya ingin bertemu dengan seorang pendekar seperti taihiap yang banyak saya dengar dari cerita ibu saya. Menurut ibu, seorang pendekar sakti yang budiman seperti taihiap akan selalu siap membantu orang yang dilanda malapetaka, benarkah itu?”

Tio Sun merasa tidak enak juga mendengar dia dianggap sebagai seorang pendekar sakti yang budiman! Sudah terlampau berlebihan pujian ini! Akan tetapi karena sikap dara itu jujur dan tidak dibuat-buat, dia menjawab juga,

“Nona, saya bukan seorang pendekar sakti budiman, akan tetapi sebagai seorang manusia, tentu saja saya selalu siap untuk menolong manusia lain yang dilanda malapetaka.”

“Kalau begitu, harap taihiap sudi menolong saya yang sedang dilanda malapetaka dan menderita kegelisahan hebat ini!” Berkata demikian, nona itu tiba-tiba lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun.

Tentu saja pemuda itu menjadi terkejut bukan main.
“Ah, nona... Jangan berbuat demikian... tentu saja saya selalu siap sedia membantumu... harap jangan berlutut seperti ini.”

Tio Sun memegang kedua lengan yang kecil itu dan menarik nona itu untuk bangun, Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa sedikitpun nona itu tidak dapat diangkatnya naik. Nona itu ternyata telah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh!

“Saya tidak akan bangkit kalau taihiap belum berjanji akan menolong saya.”

“Janji baru dapat diberikan kalau saya sudah mendengar urusannya, nona. Bagaimanapun juga saya hanya akan membantu fihak yang benar.”

Tio Sun yang maklum bahwa gadis ini sengaja hendak mengujinya, lalu mengerahkan sin-kangya. Gadis itu mempertahankan diri, akan tetapi Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang memiliki ilmu menghimpun tenaga selaksa kati yang amat hebat.

Maka dara itu akhirnya tidak kuat bertahan dan tubuhnya dapat diangkat oleh Tio Sun. Akan tetapi, biarpun dengan dipegang kedua lengannya dia dapat diangkat, tetap saja dia dalam keadaan berlutut seolah-olah tubuhnya menjadi kaku seperti batu! Tio Sun terkejut dan kagum sekali. Tidak salah dugaannya bahwa nona ini memiliki kepandaian yang tinggi juga!

“Harap nona tidak sungkan-sungkan dan mari kita bicara,” katanya sambil melepaskan kedua lengan itu.

Nona itupun turun keadaan berdiri dan di dalam kegelapan malam itu dia memandang dengan wajah berseri penuh harapan.

“Disini bukan tempat bicara. Marilah saya persilakan taihiap untuk singgah di rumahku dan disana kita dapat berbicara dengan leluasa, dan saya akan menceritakan malapetaka apa yang menimpa diri saya.”

Tio Sun mengangguk. Kalau seorang gadis yang memiliki kepandaian begini hebat, dan juga mempunyai pengaruh terhadap orang-orang kasar tadi sampai dapat dilanda malapetaka, tentulah telah terjadi hal yang amat hebat.

Mereka lalu berangkat menuju ke rumah gadis itu, akan tetapi Tio Sun lebih dulu mengajak nona itu singgah di warung untuk membayar makanan yang tadi dipesannya dan yang belum dimakan sampai habis.

Pemilik warung yang sudah mendengar akan perkelahian Tio Sun dikeroyok oleh banyak orang asing itu menyambut sambil membungkuk hormat, akan tetapi sikapnya menjadi makin menghormat ketika dia melihat nona itu datang bersama Tio Sun.

“Ah, kiranya Souw-siocia (nona Souw)... silakan duduk, nona...” kata pemilik warung dan dara itu mengucapkan terima kasih dan menanti di luar sampai Tio Sun selesai membayar harga makanan.

Diam-diam nona itu menjadi semakin kagum dan girang. Tidak salah lagi, pikirnya. Seperti inilah seorang pendekar budiman yang seringkali dia mendengar diceritakan oleh ibunya akan tetapi yang belum pernah dijumpainya.

Tio Sun di lain fihak tercengang ketika nona itu mengajaknya memasuki pekarangan sebuah bangunan yang besar dan megah.

“Inikah rumahmu, nona?” tanyanya dengan ragu-ragu.

Nona itu tersenyum.
“Harap jangan perdulikan rumah, taihiap. Engkau datang untuk bicara dengan aku, bukan dengan rumah, bukan?”

Tio Sun mengangguk. Benar, mengapa dia ribut tentang keadaan nona ini? Apakah bedanya andaikata nona ini seorang miskin sekali ataukah seorang yang kaya raya?

Mereka memasuki ruangan depan, disambut oleh dua orang pelayan wanita yang memberi hormat kepada nona majikan mereka dan kepada tamu itu. Dara itu mengajak Tio Sun memasuki sebuah ruangan besar, ruang tamu dan memerintahkan dua orang pelayannya untuk mempersiapkan hidangan.

“Ah, tidak perlu repot-repot, nona...” Tio Sun mencegah.

“Tidak repot, akan tetapi seharusnya. Bukankah taihiap sedang makan ketika taihiap mendengar wanita minta tolong? Nah, akupun belum makan malam maka sudah sepatutnya kalau saya mengajak taihiap makan malam bersama.”

Mereka duduk berhadapan terhalang meja dan Tio Sun makin heran melihat sikap dara ini yang demikian terbuka dan polos, tidak malu-malu seperti kebanyakan gadis yang dijumpainya.

Akan tetapi ketika dia memandang dan kini wajah gadis itu nampak jelas disinari lampu gantung di atas mereka, Tio Sun terkejut bukan main. Gadis itu cantik! Cantik bukan main, seperti gambar seorang bidadari! Akan tetapi matanya berwarna kebiruan dan rambutnya keemasan! Seorang gadis asing! Akan tetapi kulitnya yang kuning, tata rambutnya, pakaiannya, bicaranya adalah seratus prosen gadis pribumi. Hanya warna mata dan rambutnya! Dia memandang bengong!

Dewi Maut







Tidak ada komentar: