***

***

Ads

Rabu, 04 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 086

“Eh, taihiap, engkau memandang apa?”

Nona itu menegur ketika melihat Tio Sun terlongong seperti orang terkena pesona, senyumnya melebar dan di sebelah kiri mulutnya muncul lesung pipit yang manis sekali.

Kini tampak jelas oleh Tio Sun betapa dara itu sebetulnya masih amat muda, akan tetapi agaknya memang mempunyai tubuh yang lebih besar daripada gadis-gadis biasa, karena biarpun tubuhnya yang padat itu seperti tubuh dara yang matang, namun wajahnya menunjukkan bahwa dia baru saja di ambang pintu kedewasaan, paling banyak tujuh belas tahun usianya.

“Maaf... eh, saya kira nona seorang gadis pribumi, akan tetapi...”

Nona itu menghela napas panjang.
“Kau maksudkan mataku biru dan rambutku agak keemasan?”

Lega hati Tio Sun dan dia mengangguk, karena rasanya amat tidak enak kalau dia yang harus mengatakan hal itu.

“Memang demikianlah” kata nona itu. “Kalau aku dikatakan gadis pribumi, hal itu benar, dan namaku adalah Souw Kwi Eng, akan tetapi kalau ada yang mengatakan bahwa aku seorang gadis asingpun, benar dan namaku adalah Maria de Gama. Ayahku seorang Portugis aseli akan tetapi ibuku seorang Tionghoa aseli pula.”

“Aihh, kiranya begitukah...?”

Tio Sun memandang dengan penuh kagum dan terheran-heran karena baru sekarang ini dia bertemu dengan seorang peranakan yang berdarah campuran. Namun harus diakuinya bahwa belum pernah dia melihat yang begini mempesonakan, begini cantik jelita, kecantikan yang khas dan amat menawan hatinya yang berdebar-debar.

“Akan tetapi ayahku bukanlah seperti orang-orang kasar yang mengeroyokmu tadi, taihiap. Ayahku adalah seorang terpelajar, yang di negaranya termasuk seorang ahli pedang yang disegani, dan di sini dahulu terkenal sebagai pemilik kapal dan juga kapten kapal. Adapun ibuku juga seorang pendekar wanita yang terkenal, karena ibuku adalah murid Panglima The Hoo yang terkenal itu. Ayah bernama Yuan de Gama, maka aku memakai nama Maria de Gama, sedangkan ibuku she Souw, maka akupun memakai nama keturunan Souw.”

Tio Sun kelihatan terkejut bukan main mendengar nama-nama itu. Dia pernah mendengar penuturan ayahnya tentang nama-nama itu.

“Nona... apakah ibumu bernama Souw Li Hwa...?”

Wajah nona yang cantik itu berseri gembira.
“Kau telah mengenal ibuku?”

Tio Sun menggeleng kepala.
“Aku hanya mendengar dari ayah. Ketahuilah nona, bahwa ayahku bernama Tio Hok Gwan dan ayah adalah bekas pengawal setia dari mendiang Panglima Besar The Hoo, oleh karena itu ayah tentu saja mengenali murid beliau, yaitu ibumu yang bernama, Souw Li Hwa. Akan tetapi...”

Dia memandang wajah yang cantik jelita itu dengan alis berkerut karena dia merasa sangsi, bahkan agak curiga memandang nona itu.






“Akan tetapi apakah, taihiap?”

“Menurut cerita ayahku, pendekar wanita Souw Li Hwa telah tewas, tenggelam bersama Yuan de Gama di atas kapal... bagaimana mungkin sekarang muncul seorang puterinya...?”

“Memang begitulah yang diketahui oleh semua orang, akan tetapi ada rahasia di balik semua itu, taihiap. Sebetulnya ayah merahasiakan keadaan kami ini, akan tetapi karena sekarang aku menghadapi malapetaka dan membutuhkan bantuanmu, apalagi setelah aku mengetahui bahwa engkau adalah putera seorang pengawal setia dari mendiang The-sucouw (kakek guru The), biarlah aku menceritakannya kepadamu.”

Dara itu lalu bercerita yang didengarkan oleh Tio Sun dengan penuh perhatian dan kekaguman. Tentu saja pembaca cerita “Petualang Asmara” juga terheran-heran mendengar pengakuan nona peranakan yang bernama Maria de Game alias Souw Kwi Eng itu, karena para pembaca tentu masih ingat betapa Souw Li Hwa, pendekar wanita perkasa murid Perdana Menteri The Hoo telah tewas bersama pemuda asing yang dicintainya, yaitu Yuan de Gama. Oleh karena itu, mari kita mendengarkan penuturan nona cantik yang mengaku sebagai puteri Souw Li Hwa itu.

Seperti telah diceritakan dalam cerita “Petualang Asmara”, Yuan de Gama, seorang pemuda Portutis yang gagah perkasa, sebagai seorang kapten kapal, tidak mau meninggalkan kapalnya yang terbakar dan tenggelam.

Setiap orang kapten yang terhormat dan gagah perkasa harus sehidup semati dengan kapalnya, maka biarpun dia masih mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri, meninggalkan kapalnya yang mulai tenggelam, Yuan de Gama berkeras tidak mau meninggalkannya. Dan seorang dara cantik jelita dan perkasa, murid Panglima The Hoo, yang bernama Souw Li Hwa, juga berkeras tidak mau meninggalkan Yuan de Gama yang dicintanya.

Kedua orang muda yang saling mencinta ini saling berpelukan dan ikut tenggelam bersama kapal yang terbakar itu, disaksikan oleh ribuan pasang mata yang merasa terharu dan kagum sekali, termasuk mata pendekar-pendekar Cia Keng Hong, Yap Kun Liong, Panglima Besar The Hoo dan lain-lain.

Sudah dapat dipastikan kedua orang muda yang sallig mencinta itu akan mati tenggelam di lautan kalau saja pada saat kapal tenggelam itu tidak terjadi sesuatu yang amat luar biasa.

Seorang laki-laki tua yang berpakaian nelayan, yang tidak mencampuri perang yang terjadi antara fihak pemberontak dan tentara pemerintah (baca Petualang Asmara) dan yang ikut pula menyaksikan terbakarnya kapal dan ikut tenggelamnya pasangan yang saling berpelukan itu bersama kapalnya, memandang peristiwa itu dengan air mata menitik turun di kedua pipinya yang keriputan. Akhirnya tanpa ada yang melihatnya, kakek tua renta yang perpakaian sebagai nelayan sederhana lalu meloncat dan terjun ke dalam air, menyelam dan lenyap.

Demikianlah, Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang sudah hampir mati lemas, tahu-tahu telah berada di darat, di tempat yang sunyi dalam hutan. Mereka ditolong dan diselamatkan oleh kakek nelayan itu.

Mula-mula Yuan de Gama marah-marah karena hidupnya itu merupakan suatu hal yang amat memalukan, dan dia dapat dianggap seorang pengecut karena sebagai seorang kapten dia tidak mati tenggelan bersama tenggelamnya kapal. Hampir saja dia marah dan menyerang kakek itu, akan tetapi dicegah oleh Souw Li Hwa yang menangis dan menyatakan keinginan hidupnya bersama kekasihnya itu setelah ternyata mereka berdua masih hidup.

Adapun kakek itu dengan sabar dan tenang berkata,
“Mungkin sekali kebiasaan bangsamu itu dianggap sebagai perbuatan gagah perkasa, namun di sini hanya akan dianggap sebagai perbuatan tolol, suatu pembunuhan diri yang konyol. Bagaimana nyawa manusia disamakan dengan tenggelamnya sebuah benda mati seperti kapal? Pula, engkau sudah memenuhi kebiasanan itu, sudah tenggelam bersama kapalmu, maka apakah salahnya kalau hal itu tidak membuat kau mati karena memang Thian belum menghendaki kau mati? Setelah sekarang kapalmu tenggelam dan kau dapat kuselamatkan di sini, apakah kau lalu akan membunuh dirimu sendiri bersama wanita yang amat setia kepadamu ini?”

Mendengar ucapan kakek nelayan sederhana itu, Yuan de Gama tertegun dan tidak dapat membantah. Memang, kapalnya sudah tenggelam dan dia ternyata masih hidup, bukan atas kehendaknya karena dia ditolong dalam keadaan tidak sadar. Tak mungkin sekarang dia harus mengajak Souw Li Hwa untuk bersama-sama membunuh diri! Kematian gagah seorang kapten adalah tenggelam bersama kapalnya, bukannya membunuh diri secara konyol satelah kapalnya tidak ada lagi!

Akhirnya Yuan de Gama dapat melihat kebenaran itu dan tak lama kemudian dia saling rangkul dengan Souw Li Hwa yang menangis sesenggukan sehingga Yuan tidak dapat bertahan lagi untuk tidak mencucurkan air mata.

Kakek nelayan itu tertawa bergelak saking girangnya dan demikianlah, mulai saat itu Yuan de Game dan Souw Li Hwa hidup sebagai suami isteri dan kakek nelayan itu yang ternyata memiliki kepandaian renang dan bermain di dalam air seperti seekor ikan saja, menjadi pembantu mereka.

Yuan de Gama masih merasa sungkan untuk muncul di tempat ramai dan ketahuan oleh orang-orang bahwa dia tidak lagi menjadi seorang kapten yang gagah perkasa maka dia mengajak untuk hidup sunyi di pantai laut dalam hutan, hanya ditemani oleh kakek nelayan itu.

Akan tetapi, setelah setahun kemudian Souw Li Hwa melahirkan anak kembar, terpaksa Yuan mengajak keluarganya pindah ke kota Yen-tai dan di situ dia hidup sebagai seorang pedagang yang dalam waktu beberapa tahun saja, telah menjadi kaya raya.

“Demikianlah, taihiap, aku diberi nama Maria de Gama alias Souw Kwi Eng, sedangkan kakak kembarku bernama Richardo de Game seperti kakek, alias Souw Kwi Beng. Kakek nelayan itu mengajar kami berdua ilmu di dalam air, sedangkan ibu mengajar kami ilmu silat. Dua tahun yang lalu kakek nelayan itu telah meninggal dunia karena usia tua.”

Mendengar penuturan itu, Tio Sun cepat bangkit dari kursinya, dan menjura dengan penuh hormat.

“Maafkan kesangsian saya tadi. Kiranya nona adalah puteri pendekar Souw Li Hwa yang dipuji-puji oleh ayah, dan setelah mendengar siapa adanya nona, maka tentu saja saya siap untuk membantu nona.”

“Terima kasih, taihiap...”

“Maaf, harap nona tidak menyebut saya taihiap. Saya adalah putera ayah saya Tio Hok Gwan yang mengenal baik ibu nona, dan nama saya Tio Sun. Sekarang, perkenankan saya menghadap ibu nona untuk menyampaikan hormat saya...”

“Aihhh, kalau ibu berada di rumah, tentu sudah sejak tadi dia keluar. Tio-taihiap... eh, baik kusebut kau twako saja, ya?”

“Terserah, asal jangan menyebut taihiap, karena saya tidak pantas disebut taihiap.”

“Baiklah, Tio-twako. Ketahuilah bahwa ayah ibuku sudah setengah tahun ini pergi berkunjung ke barat, ke negeri ayahku di Portugal. Aku dan Beng-koko tidak boleh ikut dan diharuskan melanjutkan perdagangan ayah dan menjaga rumah. Akan tetapi baru beberapa hari yang lalu terjadilah malapetaka itu.”

“Peristiwa apakah yang terjadi, nona?”

“Kakakku diculik orang...” Dan wajah itu seketika menjadi muram, pandang matanya diliputi kegelisahan.

Tio Sun terkejut, akan tetapi pada saat itu, empat orang pelayan datang membawa hidangan yang segera diatur di atas meja.

“Nanti saja kita lanjutkan, twako,”, kata Kwi Eng dan mereka lalu makan.

Tio Sun yang kini sudah mengenal siapa adanya dara yang amat menarik hatinya ini tidak sungkan-sungkan lagi dan mereka makan tanpa bicara, kecuali kalau Kwi Eng menawarkan ini-itu kepada tamunya.

Setelah selesai makan dan sisanya diasingkan oleh para pelayan, mereka kini duduk berdua lagi dan bercakap-cakap.

“Sekarang ceritakanlah bagaimana kakakmu dapat diculik orang, nona. Melihat kelihaianmu, tentu kakak kembarmu itupun seorang yang tidak akan mudah diculik orang begitu saja.”

“Dugaanmu memang benar, twako. Beng-koko memiliki kepandaian yang cukup, bahkah lebih pandai daripada aku. Selama belajar, aku hanya dapat mengatasi kakakku itu dalam ilmu di dalam air saja, akan tetapi dalam latihan ilmu silat, dia lebih pandai dariku. Akan tetapi yang menculiknya juga bukan orang biasa, melainkan gerombolan bajak laut Jepang yang diketuai oleh seorang yang lihai sekali yang bernama Tokugawa, dan terkenal sebagai seorang jagoan samurai yang menyeleweng menjadi kepala bajak.

Di antara Tokugawa dan ayah ibu memang terdapat permusuhan, dimulai ketika Tokugawa dan anak buahnya merampok kapal milik ayah dan ayah bersama ibu segera merampasnya. Di dalam pertandingan satu lawan satu, Tokugawa dikalahkan oleh ibu. Semenjak itu, Tokugawa agaknya tergila-gila kepada ibu dan memiliki niat tidak baik, ingin membunuh ayah dan merampas ibu!

Tentu saja ayah dan ibu menentangya dan selalu gerombolan Tokugawa dikalahkan. Kini, setelah ayah dan ibu pergi ke barat agaknya Tokugawa berani lagi bermain gila. Setelah dia dikalahkan untuk yang terakhir kalinya, dia tidak berani muncul lagi dan kabarnya menyembunyikan diri di Pulau Hiu yang kosong. Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu dia muncul, tentu telah menggunakan akal sehingga dia berhasil menculik Beng-koko dan mengirim surat kepadaku. Inilah suratnya!”

Dengan wajah gelisah Kwi Eng lalu memperlihatkan sesampul surat yang ditulis dengan huruf-huruf kasar namun cukup jelas untuk dapat dibaca.

“Kalau ingin melihat pemuda peranakan asing pulang dengan selamat, kirimkan kapal Angin Timur ke Pulau Hiu sebagai penukarnya.”

Di bawah huruf-huruf itu, terdapat sebuah gambar tengkorak hitam.
“Apakah artinya gambar ini?” tanya Tio Sun setelah membaca surat itu.

“Itulah julukan Tokugawa, Si Tengkorak Hitam yang menjadi bendera gerombolannya.”

Setelah mengembalikan surat itu, Tio Sun bertanya,
“Dan kapal Angin Timur itu adalah milik ayahmu?”

“Ya, kapal itu milik kami, kapal yang terbesar dan belum lama ini dibeli oleh ayah dari barat.”

“Kenapa kau tidak melaporkan kepada yang berwajib, nona? Bukankah sudah jelas ada bukti dengan surat itu?”

“Brakkkk!” Kwi Eng menggebrak meja sampai meja itu tergetar. “Itulah yang menjengkelkan dan menggemaskan! Kau tahu, twako, semua pembesar korup itu telah makan sogokan dari setiap orang. Siapa saja yang mampu menyogoknya, tentu akan dilindungi, bahkan penjahat sekalipun tidak akan mereka ganggu selama penjahat itu melakukan sogokan dan membagi hasil!”

“Kau maksudkan Tokugawa telah menyuap para pembesar?”

“Hal itu sudah diketahui oleh umum. Karena yang berani menentang hanya ayah dan ibuku, maka kini Tokugawa menentang kami dan berani mengganggu kami. Hal ini oleh para pembesar dianggap sebagai permusuhan pribadi dan mereka tidak mau mencampuri.”

“Hemmm... dan kapal itu amat berharga sehingga engkau merasa sayang untuk menukarnya dengan kakakmu?”

“Tio-twako!” Tiba-tiba dara itu bangkit berdiri dan memandang Tio Sun dengan sinar mata berapi. “Kau kira orang macam apa aku ini?”

Tio Sun cepat bangkit berdiri dan menjura. Hebat gadis ini, pikirnya. Penuh dengan semangat dan api!

“Maafkan, nona. Aku tidak menyangka apa-apa, hanya bertanya untuk mengetahui bagaimana tanggapanmu terhadap surat ancaman bajak itu.”

Mereka duduk kembali dan Kwi Eng menarik napas panjang.
“Engkau tentu tahu betapa sayangku kepada kakak kembarku itu, twako. Jangankan hanya sebuah kapal, biar seluruh harta benda kami akan kuserahkan untuk menebus keselamatan kakakku. Akan tetapi kau tidak tahu siapa adanya Tokugawa, kepala bajak yang seperti iblis itu. Dia tahu bahwa ayah dan ibu tidak ada, maka dia minta tebusan kapal dan aku tahu bahwa kalau kapal itu kuberikan, tetap saja Beng-koko tidak akan dia bebaskan begitu saja. Yang dia kehendaki adalah ibu atau... aku.”

“Maksudmu?”

Kwi Eng menundukkan mukanya.
“Dahulu, Tokugawa pernah tergila-gila kepada ibu karena ibulah satu-satunya wanita yang pernah mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan tetapi setelah niatnya itu gagal, dia pernah mengajukan lamaran kepada orang tuaku untuk minta... aku sebagai isterinya.”

“Hemm, manusia keparat!”

“Memang, dia kurang ajar sekali. Kini, dengan ditawannya kakakku, aku mengerti bahwa tentu dia akan menggunakan kakak sebagai sandera untuk memerasku, dan untuk memaksa menuruti kehendaknya itu.”

“Hemm... lalu bagaimana kehendakmu, nona?”

“Aku akan melawan! Aku akan melawan mati-matian!”

“Bagus kalau begitu!”

“Aku sudah siap, twako. Aku sudah mempersiapkan anak buah ayahku yang terdiri dari lima puluh orang untuk menyerbu ke Pulau Hiu. Akan tetapi, selama ini aku selalu menunda niatku itu karena aku tahu bahwa baik kakakku maupun aku sendiri, tidak akan dapat mengalahkan Tokugawa. Bukannya aku takut kalah. Akan tetapi kalau sampai aku kalah, bukankah berarti hanya mati konyol dan kakakkupun tidak akan tertolong? Aku sedang menanti-nanti kembalinya ibu atau hendak mencari seorang pembantu yang memiliki kepandaian tinggi. Dan... agaknya Thian telah mengirim twako ke sini sehingga aku bertemu dengan twako. Dengan adanya twako yang membantu, twako tentu akan dapat menandingi Tokugawa dan kita akan dapat menyelamatkan Beng-koko.”

“Kepandaianku tidak seberapa, nona, akan tetapi setelah mendengar penuturanmu, aku ingin berhadapan dengan Tokugawa si keparat kurang ajar itu dan aku mempertaruhkan nyawaku untuk menolong kakakmu.”

“Aku sudah melihat gerakanmu ketika kau dikeroyok tadi, twako, dan aku yakin bahwa engkau tentu akan mampu menandingi Tokugawa. Hanya saja, kurahap engkau berhati-hati dan tidak memandang rendah senjata pistol mereka.”

“Pistol?” Tio Sun belum pernah mendengar akan senjata ini.

“Agaknya engkau belum pernah melihat senjata itu. Tadi ketika kau dikeroyok, hampir saja engkau ditembak dengan pistol oleh Pedro si pengecut. Baiknya aku melihatnya dan mendahuluinya.”

“Hemm, jadi itukah sebabnya maka nona mempergunakan hui-to untuk melukai tangan si rambut merah itu? Dia hendak mempergunakan senjata pistol? Senjata rahasia apakah itu?”

“Sebuah senjata api, pelurunya digerakkan oleh obat peledak. Berbahaya sekali karena peluru itu cepat sekali menyambarnya, sukar dielakkan karena cepatnya.”

Tio Sun mengangguk-angguk.
“Kiranya senjata api dengan obat peledak. Akan tetapi, aku pernah mendengar bahwa pemerintah melarang orang-orang membawa senjata seperti itu.”

“Memang benar demikian, maka tadipun aku mengancam Pedro dan kawan-kawannya. Akan tetapi siapa bisa melarang bajak-bajak yang hidupnya liar di atas lautan? Hanya baiknya, menurut pendengaranku, Tokugawa sebagai seorang bekas jagoan samurai, pantang mempergunakan senjata barat itu dan hanya mengandalkan pedang samunarinya yang amat dibanggakan. Mungkin di antara anak buahnya ada yang membawa pistol, akan tetapi jangan khawatir, akupun mempunyai beberapa buah pistol yang akan kubagi-bagikan kepada anak buahku. Aku sendiri lebih senang menggunakan hui-to daripada pistol yang sebetulnya kalan cepat karena pistol harus membidik dan mengisi obat peluru. Pendeknya, dengan bantuanmu, aku yakin akan dapat menyelamatkan Beng-koko, bahkan dapat membasmi Tokugawa dan anak buahnya.” Gadis itu kelihatan bergembira dan bersemangat sekali.

“Kapan kita berangkat, nona?”

“Besok sore, twako. Besok kupersiapkan anak buahku, lalu pada sore harinya kita berangkat dengan kapal Angin Timur. Kita bersikap seolah-olah memenuhi permintaan si jahanam Tokugawa. Akan kulihat bagaimana macam mukanya kalau dia melihat kita menyerbu pulau itu.”

Malam itu Tio Sun tidur di dalam sebuah kamar tamu di rumah Kwi Eng, hatinya gembira sekali, dan malam itu tidurnya diisi mimpi indah dengan dara jelita yang amat menarik hatinya itu.

**** 086 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: