***

***

Ads

Senin, 27 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 063

Lee Siang tertawa dan memang pria ini amat gagah. Biarpun usianya sudah empat puluh tahun, namun usia ini tidak mengurangi ketampanannya, bahkan membuat dia nampak gagah dan matang, seorang jantan yang menarik hati kaum wanita.

“Ha-ha, lihiap terlalu memuji. Tanpa adanya akupun, sudah kulihat betapa tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang itu tidak berdaya menghadapi lihiap. Ah, sudahlah, aku merasa girang kita dapat saling jumpa disini dan pertemuan ini dapat saling mempererat persahabatan antara kita. Tidak tahu, lihiap hendak pergi ke manakah maka berada di luar pintu gerbang kota raja?”

“Aku hendak meninggalkan kota raja, sudah mendapatkan ijin dari pangeran mahkota, untuk kembali te utara melaporkan segala peristiwa kepada sri baginda raja, juga menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada sri baginda agar dapat hadir di hari penobatan pangeran mahkota nanti.”

“Ahh... lihiap hendak kembali ke utara...?” Wajah panglima itu kelihatan kecewa dan terkejut. “Karena melaksanakan tugas selama belasan hari, aku tidak tahu akan hal itu dan sekarang, begitu berjumpa, tahu-tahu lihiap sudah akan pergi. Padahal, mengingat akan persahabatan antara kita, sudah sepatutnya kalau aku menjamu kepergian lihiap untuk menghaturkan selamat jalan. Akan tetapi, kuharap saja masih belum terlambat bagiku untuk mengundang lihiap singgah sebentar ke rumahku untuk menerima secawan dua cawan arak ucapan selamat jalan dariku. Marilah, lihiap, aku mengundang lihiap dengan hormat dan sangat, demi persahabatan kita, untuk singgah sebentar di rumahku. Aku tidak ingin melihat lihiap pergi dan kita saling berpisah tanpa kesan, hanya berpamit di tengah jalan seperti ini!”

Pandang mata panglima itu penuh permintaan, penuh keharuan dan penuh kemesraan dan hati yang dingin dan keras dari wanita itu seketika mencair dan dia mengangguk sambil tersenyum!

Dengan girang sekali Panglima Lee Siang lalu menuntun kudanya dan pergilah mereka berdua kembali ke selatan, menuju ke pintu gerbang dimana para penjaga menyambut mereka dengan sikap hormat dan juga dengan penuh keheranan mengapa Kim Hong Liu-nio yang baru saja pergi meninggalkan pintu gerbang kini sudah datang kembali, berjalan bersama Panglima Lee yang duda itu dalam keadaan begitu mesra seperti dua orang sahabat lama.

Tak lama kemudian kedua orang ini sudah duduk saling berhadapan di dalam ruangan besar di gedung Panglima Lee. Sebuah meja melintang menghalang diantara mereka, meja yang penuh dengan hidangan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap panas dan tercium bau harum arak yang baik. Setelah para pelayan mempersiapkan hidangan-hidangan itu di atas meja, dengan gerak tangannya Panglima Lee Siang lalu memberi isyarat mengusir mereka semua.

Kini Lee-ciangkun dan Kim Hong Liu-nio hanya berdua saja di dalam ruangan itu dan Panglima Lee segera menuangkan arak dan mengajak wanita itu minum arak. Tanpa hanyak cakap mereka lalu mulai makan minum. Keduanya merasa canggung! Sungguh amat mengherankan hati mereka sendiri masing-masing mengapa mereka kini tiba-tiba saja menjadi pemalu sekali dan canggung, jantung mereka berdebar seperti dua orang pemuda dan dara remaja saja!

“Silakan minum demi persahabatan kita lihiap!” kata Lee Siang sambil mengangkat cawan araknya yang sudah dipenuhinya bersama cawan tamunya itu. Sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio mengangkat cawan dan meminumnya.

“Kini aku yang minta agar ciangkun suka minum sebagai pernyataan terima kasihku atas pertolongan dua kali itu!”






Kim Hong Liu-nio menuangkan arak ke dalam cawan mereka dan sambil tersenyum Lee Siang meminum habis arak itu.

“Dan sekarang aku persilakan lihiap minum sebagai ucapan selamat jalan... ah, tidak! Belum! Jangan lihiap pergi dulu...!” kata panglima itu yang sudah mulai merah mukanya.

Biarpun Lee Siang juga seorang gagah yang memiliki kepandaian tidak rendah sebagai seorang Panglima Kim-i-wi, akan tetapi, dalam hal minum arak, dia masih kalah kuat dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio yang memiliki tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu. Tiba-tiba panglima itu nampak berduka begitu teringat bahwa wanita itu sebentar lagi akan pergi meninggalkannya.

“Lihiap, harap jangan pergi sekarang..., harap lihiap menunda keberangkatan itu sampai besok pagi... dan aku mempersilakan lihiap untuk bermalam di sini, dan anggaplah rumah ini sebagai rumah lihiap sendiri...”

Kim Hong Liu-nio memandang tajam, akan tetapi karena dia tidak melihat sikap kurang ajar ketika panglima itu mengeluarkan kata-kata itu, dia tidak jadi marah dan malah tersenyum. Makin heranlah rasa hatinya. Kalau saja yang mengucapkan kata-kata itu pria lain, tentu dia sudah menggerakkan tangan membunuhnya! Akan tetapi aneh, ucapan itu sama sekali tidak membuat dia marah, bahkan sebaliknya, jantungnya berdebar aneh dan ada rasa girang yang amat besar memenuhi hatinya! Dan rasa girang ini membuat mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi gugup dan untuk menyembunyikan perasaannya itu, dia menoleh ke kiri.

“Sunyi sekali di ruangan yang besar ini, ciangkun. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa begini sunyi? Dimana keluarga ciangkun? Aku ingin berkenalan dengan mereka.”

“Ahh...!”

Dan wajah panglima itu menjadi muram sekali. Sejenak dia menunduk tanpa dapat menjawab.

“Mengapa, ciangkun? Maafkan kalau pertanyaanku tadi menyinggung. Bukan maksudku untuk menyinggung, akan tetapi...”

“Tidak, engkau tidak bersalah, lihiap. Karena engkau tidak tahu. Ketahuilah bahwa aku hanya tinggal seorang diri saja di gedung ini, tentu saja hanya bersama para pengawal dan pelayanku. Tentang keluarga... ah, aku hidup seorang diri, hidup sebagai seorang duda kesepian. Isteriku telah meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan semenjak itu, aku hidup dalam dunia yang sepi dan... dan baru sekarang inilah, baru saat ini aku merasa... betapa senangnya hidup...”

“Aihh..., maafkan aku ciangkun.”

Kim Hong Liu-nio berkata dan tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi. Hatinya terharu dan dia merasa makin malu. Kiranya panglima ini adalah seorang duda, tanpa isteri dan tanpa keluarga!

“Kim Hong Liu-nio...!”

Tiba-tiba terdengar suara panglima itu, suaranya menggetar dan agak parau, berbeda sekali dengan tadi, dan dalam menyebutkan nama itu, terdapat kemesraan yang mengejutkan.

Wanita itu mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu menyeberang meja, sampai lama mereka saling pandang seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing. Wanita itu tidak menjawab, melainkan memandang dengan penuh penantian, kedua pipinya merah, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum malu-malu seolah-olah dia sudah tahu apa yang akan didengarnya dari mulut panglima itu.

“Kim Hong Liu-nio, ketahuilah bahwa aku Lee Siang sejak dahulu suka berterus terang, suka bersikap sebagai laki-laki sejati dan tidak ingin menyimpan rahasia yang akan mendatangkan derita. Oleh karena itu, sebelumnya, maafkanlah kalau aku terlalu terus terang kepadamu karena aku mengenalmu sebagai seorang wanita perkasa yang tentu juga menghargai kegagahan dan kejujuran...”

“Katakanlah, dan jangan ragu-ragu, ciangkun, akupun suka akan kejujuran...”

Hampir wanita itu tidak mengenal suaranya sendiri! Suaranya menjadi gemetar dan agak parau, padahal belum pernah selama hidupnya dia merasakan ketegangan seperti ini. Dan hampir dia tidak berani menatap wajah panglima yang duduk amat dekat di depannya itu, hanya terhalang sebuah meja yang kecil saja, meja yang kini sudah bersih karena mangkok piring telah disingkirkan oleh pelayan.

Wajah yang begitu gagah dan tampannya dalam pandang mata Kim Hong Liu-nio, yang membuat jantungnya berdebar tegang dan membuat dia merasa terheran-heran karena seolah-olah dia telah mengenal wajah tampan itu selama hidupnya!

Sebaliknya, panglima itu tanpa pernah berkedip menatap wajah yang cantik manis di depannya itu, terutama sekali titik hitam, tahi lalat di dagu bawah bibir itu, membuat wanita itu kelihatan cantik bukan main.

“Liu-nio, aku cinta padamu!”

Ucapan itu dikeluarkan dengan ketegasan seorang panglima perang! Demikian tiba-tiba sehingga Kim Hong Liu-nio cepat mengangkat mukanya dan sejenak mereka berpandangan, pandang mata mereka saling melekat dan agaknya sukar untuk dipisahkan lagi.

“Aku cinta padamu, dan perasaan ini timbul semenjak pertama kali aku melihatmu di pintu gerbang istana itu. Tadinya kutahan-tahan, mengingat bahwa aku hanyalah seorang panglima kasar yang sudah duda dan engkau seorang pendekar wanita yang berjasa terhadap sri baginda, akan tetapi makin lama tidak dapat aku menahannya dan kebetulan sekali kita bertemu di luar dinding kota raja. Maka sebelum terlambat, sebelum engkau pergi, kukatakan ini, Liu-nio, bahwa aku cinta padamu!”

Perlahan-lahan Kim Hong Liu-nio tersenyum, lalu menundukkan mukanya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Dia merasa betapa hatinya nyaman dan senang sekali, perasaan yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Biasanya, pandang mata pria yang terang-terangan terpesona kepadanya menimbulkan muak dan marah, apalagi kalau sampai ada yang menyatakan cinta dengan kata-kata seperti itu. Tentu akan dibunuhnya, tanpa ampun lagi pria yang berani berlancang mulut mengatakan hal itu kepadanya. Akan tetapi sekali ini, dia merasa diayun ke sorga ke tujuh ketika mendengar pengakuan cinta Panglima Lee Siang.

Tiba-tiba seluruh tubuh Kim Hong Liu-nio terasa panas dingin dan kakinya menggigil ketika dia merasa betapa tangan kanannya yang tadi berada di atas meja telah dipegang oleh sebuah tangan yang besar dan kuat hangat. Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang selain masih perawan, juga selama hidupnya belum pernah dia berdekatan dengan seorang pria, apalagi sampai dipegang tangannya dengan cara yang demikian mesra dan penuh perasaan! Dia mengangkat mukanya. Akan tetapi begitu bertemu pandang dengan sepasang mata Lee Siang yang memandangnya dengan penuh perasaan, dia lalu membuang muka dengan malu, akan tetapi dia tidak menarik tangan kanannya yang digenggam oleh panglima itu.

“Liu-nio kau... sudilah kiranya engkau minum secawan arak ini...” suara panglima itu gemetar dan juga jari-jari tangannya yang menggenggam tangan kecil wanita itu mengeluarkan getaran-getaran yang terasa sampai ke dalam lubuk hati Kim Hong Liu-nio.

Wanita ini menjadi gugup dan malu bukan main, dia tidak berani memandang, tidak berani bicara, hanya menggunakan tangan kirinya untuk menolak cawan yang disodorkan kepadanya.

“Liu-nio, aku tahu betapa lancangnya mulutku dan betapa sukarnya bagi seorang wanita terhormat seperti engkau menjawab pertanyaanku. Maka, biarlah arak dalam cawan ini sebagai lambang cintaku kepadamu, kuhaturkan kepadamu. Kalau engkau menerima cintaku, terima dan minumlah arak ini, kalau engkau menolak berarti engkau menolak cintaku.”

“Aihhh...!”

Kim Hong Liu-nio terkejut mendengar itu dan dia menjadi serba salah. Diangkatnya mukanya memandang dan begitu melihat pandang mata panglima itu, dia tahu bahwa dia tidak akan mampu menolaknya! Dia tahu bahwa seluruh jasmaninya, seluruh hatinya, condong kepada panglima itu dan seolah-olah menanti dan rindu akan cinta kasih Panglima Lee Siang! Maka dengan tangan gemetar diterimanya cawan itu lalu sekali tenggak kosonglah cawan itu.

“Kekasihku...!”

Lee Siang berseru girang bukan main dan dia cepat bangkit berdiri, memutari meja dan di lain saat dia telah menarik tubuh Kim Hong Liu-nio, ditariknya berdiri, dipeluknya dan seperti ada besi sembrani yang menarik keduanya, tiba-tiba saja mereka telah berciuman!

“Ohhh... ciangkun...!”

Kim Hong Liu-nio terisak ketika ciuman itu dilepaskan dan dia lalu menyembunyikan mukanya di dada yang bidang tegap itu.

Sambil memeluk dan mendekap kepala itu, Lee Siang berdongak ke atas.
“Terima kasih, Liu-nio, terima kasih atas sambutanmu terhadap cintaku! Akan tetapi di sini tidak leluasa, setiap saat pelayanku dapat masuk. Mari kuantar engkau ke kamarmu, sayang. Malam ini engkau bermalam di sini!”

Seperti orang yang kehilangan semangat dan seluruh tubuhnya lemas seperti tak bertulang lagi, setengah dipondong Kim Hong Liu-nio membiarkan dirinya dibawa ke dalam sebuah kamar, dan ternyata itu adalah kamar panglima itu sendiri!

Lee Siang masih merangkul leher Kim Hong Liu-nio dan hanya menggunakan kakinya untuk menutupkan pintu kamar, lalu dia membawa wanita itu ke atas tempat tidur dan mereka terguling di atas pembaringan dalam keadaan saling merangkul.

“Sayangku, kekasihku,, dewiku...”

Lee Siang berbisik-bisik dan memeluk, menciumi, membuat Kim Hong Liu-nio seperti mabok dan lupa segala. Akan tetapi ketika merasakan jari-jari tangan itu di tubuhnya, tiba-tiba dia sadar dan dia memegang lengan panglima itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: