***

***

Ads

Sabtu, 11 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 021

Seratus jurus lewat dan pertandingan itu bertambah seru. Kalau diam-diam Si Kwi kagum bukan main dan rasa penasaran di hatinya mulai lenyap karena memang harus diakuinya bahwa lawan ini berbeda dengan Coa Lok dan memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, sebaliknya Hok Boan juga kagum bukan main dan kekagumannya diucapkan berkali-kali oleh mulutnya.

“Hebat sekali!”

“Ah, engkau amat cepat, nona!”

Si Kwi tidak memperdulikan pujian-pujian ini, akan tetapi sebenarnya di dalam hati wanita ini telah timbul semacam perasaan yang aneh. Tadi dia merasa penasaran dan membenci pemuda ini yang dianggap menghinanya. Akan tetapi kini lenyap rasa penasaran di hatinya karena dia mengakui kehebatan pemuda ini, dan perlahan-lahan rasa bencinya juga menipis mendengar betapa pemuda itu memuji-mujinya dengan suara bersungguh-sungguh, bukan pujian yang bersifat mengejek. Apalagi ketika dia melihat munculnya lima orang pelayannya dalam keadaan sehat dan tidak mengalami cedera.

“Nona, cukuplah. Harap nona suka memaafkan aku, sungguh aku tidak berniat untuk memusuhi nona. Cukuplah, biar aku mengaku kalah!” berkali-kali Hok Boan berkata, akan tetapi Si Kwi masih terus mendesaknya.

Wanita ini merasa malu ketika lima orang pelayannya muncul dan melihat pertempuran itu, malu bahwa dia masih juga belum dapat merobohkan laki-laki ini. Kalau tidak ada lima orang pelayan itu, agaknya dia akan mempertimbangkan permintaan Kui Hok Boan ini, akan tetapi di depan para pelayannya, dia tidak ingin dilihat bahwa dia memperoleh kemenangan karena lawannya telah mengalah dan mengaku kalah padahal sebenarnya tidak demikian!

“A Ciauw, kau cepat ambilkan pedangku!” teriaknya sambil terus menerjang.

Melihat A Ciauw mentaati perintah nona majikannya itu dan berlari-lari menuju ke istana, hati Hok Boan merasa tidak enak. Dia tidak takut biarpun nona ini menggunakan pedang, akan tetap hal itu hanya akan membuat permusuhan makin menjadi-jadi, dan dia sama sekali tidak menghendaki ini. Tidak, dia tidak bisa bermusuhan dengan nona yang telah mencuri hatinya ini!

Diam-diam dia telah jatuh hati, jatuh cinta kepada Si Kwi dan dia sendiri merasa heran mengapa dia begini tertarik kepada Si Kwi yang tangan kirinya buntung, dan yang biarpun cantik manis, namun tidak lebih cantik dari pada kebanyakan wanita yang pernah dijumpai dan diperolehnya. Dia tidak tahu mengapa dia begitu tertarik dan suka kepada nona majikan istana lembah itu! Segala sesuatunya pada diri wanita itu menarik hatinya, bahkan buntungnya tangan kiri itu tidak menimbulkan jijik dan buruk, sebaliknya malah menimbulkan rasa iba dan juga kagum betapa dengan tangan kiri buntung nona itu masih demikian hebat!

Kalau sampai nona itu menggunakan pedang, maka tidak mungkin dia membiarkan dirinya terancam bahaya begitu saja, dan melawan orang yang bersenjata, apalagi kalau lawan itu selihai nona ini, akan memaksa dia menggunakan tangan besi pula dan sama sekali dia tidak menghendaki hal ini.

“Nona, mengapa engkau mendesak aku? Aku datang dengan niat baik, biarlah aku mohon maaf dan mohon diri, lain hari kalau hatimu sudah dingin kembali, aku akan datang berkunjung lagi. Selamat tinggal, nona.”






Hok Boan lalu meloncat ke belakang, jauh sekali lalu melarikan diri dari tempat itu setelah melambaikan tangannya kepada Si Kwi sambil meninggalkan senyum dan lirikan matanya yang amat mesra dan memikat.

Si Kwi tidak mengejar dan sampai beberapa lamanya dia berdiri bengong memandang ke arah lenyapnya bayangan sasterawan muda itu. A Ciauw datang membawa pedang, akan tetapi melihat lawan nonanya sudah pergi, dia lalu berkata,

“Memang sebaiknya kalau dia pergi. Kui-taihiap itu tidak berniat buruk maka tidak baik kalau sampai dia tewas disini.”

Ucapan itu ditujukan kepada teman-temannya atau kepada diri sendiri. Si Kwi menoleh dan memandang kepada pelayan manis berbaju hijau itu. Dia sudah menggerakkan bibirnya akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, melainkan mengambil pedangnya dari tangan A Ciauw dan mencari-cari Sin Liong dengan matanya.

Akan tetapi di atas pohon itu sudah tidak nampak Sin Liong yang tadi dipondong monyet besar, maka dia lalu kembali ke istana. Ada rasa malu di dalam hatinya untuk bicara tentang pria itu dengan para pelayannya, dan tentang Sin Liong dia tidak khawatir karena kini dia maklum bahwa anak itu mempunyai dua dunia, yaitu dunia bersama monyet-monyet di atas pohon dan dunia bersama dia di dalam istana.

Dia tidak mengganggu lagi karena yakin bahwa nanti sebelum malam tiba, Sin Liong tentu akan pulang atau diantar pulang oleh monyet-monyet itu. Dugaannya benar karena sore hari itu, selagi duduk termenung di dalam kamarnya, Sin Liong meloncat masuk melalui jendela!

Semenjak peristiwa pertempurannya dengan Hok Boan itu, sering kali Si Kwi nampak duduk termenung di dalam kamarnya atau kadang-kadang di taman bunga di belakang istana. Apalagi semenjak hari itu, sering kali ada kiriman dari Padang Bangkai! Kadang-kadang ada kiriman sutera halus, sepatu baru model terakhir, emas dan permata berbentuk hiasan rambut, bahkan kadang-kadang ada kiriman masakan yang masih panas!

Mula-mula, ditolaknya kiriman-kiriman yang datang dari Kui Hok Boan dan sengaja dikirim kepadanya itu, akan tetapi dibacanya surat terlampir yang berisi sajak-sajak indah yang memuji-muji kecantikannya, menghibur kesunyiannya dan huruf-huruf indah itu mengandung rasa cinta dan iba yang amat mengharukan hatinya. Akhirnya, diterimanya juga kiriman-kiriman itu, bahkan beberapa bulan kemudian, Kui Hok Boan yang datang berkunjung secara resmi itu, diterimanya sebagai seorang tamu terhormat!

Memang tidak terlalu mengherankah melihat kekerasan hati Liong Si Kwi mencair itu. Dia adalah seorang wanita yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya. Dia pernah jatuh cinta, pernah merasakan belaian cinta kasih seorang pria sungguhpun hal itu terjadi di luar kesadaran pria itu. Dia mencinta Cia Bun Houw dan di dalam batinnya dia sudah menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada pemuda itu. Namun, setelah Cia Bun Houw meninggalkannya (baca cerita Dewi Maut), dia melihat kenyataan yang mengerikan dan amat pahit. Cintanya ditolak.

Hatinya hancur luluh. Kemudian, hati itu menjadi dingin membeku. Betapapun juga, dia adalah seorang wanita normal yang masih muda, yang di balik kebekuannya itu sebenarnya bernyala api gairah yang besar, bersembunyi kehausan akan belaian kasih sayang seorang pria. Keadaan di Istana Lembah Naga yang sunyi, jauh dari dunia ramai, jauh dari kaum pria, sedikit banyak menolong dan menghiburnya, mempertebal kebekuan hatinya terhadap pria.

Namun, kini muncul Kui Hok Boan, seorang pria yang masih muda, tampang halus dan juga lihai. Biarpun tidak sesakti Cia Bun Houw, setidaknya merupakah pemuda yang keadaannya seperti Bun Houw. Apalagi Hok Boan pandai merayu, pandai memuji-muji, dan dari sinar mata pemuda itu memancar kasih sayang yang besar dan mesra. Maka, herankah kalau hati wanita itu menjadi terbakar, kalau kebekuan itu mencair dan jantungnya berdebar penuh gairah?

Anehkah itu kalau sebulan kemudian semenjak kunjungan resmi dari Hok Boan, dia mau pula membalas kunjungan pemuda itu, pergi ke Padang Bangkai dan mengagumi segala kemajuan yang dicapai oleh daerah itu dibawah pimpinan Kui Hok Boan? Dan anehkah kalau dia tidak marah, melainkan tunduk dengan muka merah dan jantung berdebar ketika pada suatu hari Kui Hok Boan menyatakan cintanya dan mengajukan pinangan kepadanya? Dia tidak mampu menjawab dan hanya menunduk, kedua pipinya merah sekali, bibirnya tersenyum malu-malu dan jari tangan kanannya memilin-milin rambutnya yang terlepas dari sanggul dan berjuntai ke depan dadanya.

“Liong-moi, engkau tahu bahwa lamaranku ini keluar dari hati yang tulus dan mencintamu, maka harap engkau bersikap jujur untuk menjawabku agar aku tidak tersiksa dalam kebimbangan.”

Kui Hok Boan mengulang dan mendesak. Setelah berkenalan kurang lebih dua bulan saja, dia sudah menyebut moi-moi (adik) kepada Si Kwi dan wanita itu menyebutnya ko-ko (kakak)!

Jantung di dalam dada Si Kwi berdebar. Sungguh dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa akan ada seorang pria yang dapat jatuh cinta kepadanya, bahkan yang akan meminangnya sebagai isteri! Apalagi seorang pria setampan dan selihai Kui Hok Boan! Tentu saja hatinya menerima pinangan ini dengan rasa gembira dan terharu, akan tetapi dia bukanlah seorang wanita muda yang sembrono.

Dia maklum bahwa ikatan pernikahan adalah hal yang tidak boleh dipandang ringan, dan merupakan suatu ikatan selama hidup. Oleh karena itu, sebelum diambil keputusan untuk mengikatkan diri dalam suatu pernikahan, dia harus bersikap terus terang, antara kedua fihak harus membuka diri sehingga tidak terdapat rahasia lagi di antara mereka yang kelak hanya akan menggagalkan ikatan itu. Biarpun hal yang dikeluarkan itu amat sukar dan membuatnya merasa malu sehingga dia bicara sambil menundukkan terus mukanya, namun akhirnya dapat juga dia bicara.

“Kui-koko, sobelum aku menjawab, sebaiknya engkaulah yang harus lebih dulu mempertimbangkan pinanganmu itu dengan baik dan tidak tergesa-gesa karena engkau belum mengenal betul siapa adanya diriku.”

“Liong-moi, apalagi yang harus kupertimbangkan? Biarpun baru dua bulan kita berkenalan, akan tetapi rasanya aku sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya. Aku tahu bahwa engkau adalah Liong Si Kwi, akan tetapi aku lebih tahu lagi bahwa engkau adalah seorang wanita yang hidup sebatangkara di tempat sunyi ini, hidup ditemani lima orang pelayan dan seorang anak angkat yang diasuh oleh monyet-monyet itu. Engkau belum mau menceritakan kepadaku mengapa engkau kehilangan tangan kirimu, akan tetapi agaknya hal itu yang membuat engkau merasa malu dan menyembunyikan diri disini. Bagiku, engkau adalah seorang wanita yang pandai dan yang menimbulkan rasa iba di hatiku, yang membuat aku ingin menghibur hatimu yang seperti tertekan, melindungi dirimu yang seperti orang putus asa itu. Dan lebih dari semua itu, aku meminangmu karena aku cinta padamu, moi-moi.”

Si Kwi memejamkan matanya. Hatinya terharu sekali. Pernyataan itu dahulu dia rindukan dari mulut Bun Houw, akan tetapi pernyataan itu tidak kunjung muncul, dan kini keluar dari mulut Hok Boan! Selama hidupnya, baru sekali ini ada seorang pria mengaku cinta kepadanya, pengakuan yang dia tahu amat jujur dan setulus hati. Hampir dia menangis.

“Kui-koko...” katanya dengan suara gemetar. “Engkau belum tahu akan riwayatku, akan latar belakang hidupku...”

“Aku tidak perduli, moi-moi. Tidak perduli apapun latar belakang hidupmu, apapun riwayatmu yang telah lalu, yang kucinta bukanlah Liong Si Kwi yang dahulu, melainkan Liong Si Kwi sekarang ini, yang duduk di depanku ini!”

“Tapi, koko... aku... aku bukanlah seorang perawan seperti yang mungkin kau duga...”
Muka wanita itu menjadi pucat dan dia tidak berani mengangkat muka.

“Hemm, perawan atau bukan bagiku tidak ada bedanya, moi-moi. Akan tetapi... apakah engkau sudah menikah? Ataukah seorang janda?”

Liong Si Kwi menggeleng kepalanya, lalu mengangkat muka menatap wajah pria itu penuh selidik dan hatinya girang melihat bahwa pernyataan bahwa dia bukan perawan itu, agaknya tidak merobah sikap pria itu terhadap dirinya.

“Aku tidak pernah menikah, dan tentu saja bukan janda. Akan tetapi...” kembali dia menunduk, “Aku bukan perawan, bahkan aku... aku pernah melahirkan anak...”

Hening sejenak setelah kata-kata ini. Akan tetapi Hok Boan tidak terkejut. Bagi seorang petualang asmara seperti dia, soal perawan atau bukan tidaklah penting, apalagi kini dia benar-benar jatuh cinta kepada wanita ini. Dan diapun bukan seorang bodoh. Dia sudah banyak pengalaman sehingga sekali jumpa saja diapun sudah tahu bahwa Si Kwi bukanlah seorang perawan. Dan dia tidak perduli. Akan tetapi, mendengar bahwa Si Kwi pernah melahirkan, membuat dia terkejut juga. Bukan main-main kalau begitu hubungan antara Si Kwi dengan ayah dari anak yang dilahirkannya itu.

“Dan dimana sekarang dia? Ayah dari anak itu? Apakah masih ada ikatan antara engkau dan dia?” tanyanya meragu.

Si Kwi kembali mengangkat mukanya. Terheran dia, juga girang karena kembali tidak ada perubahan sikap Hok Boan setelah mendengar bahwa dia pernah melahirkan! Ah, dia tidak boleh bertindak terlalu jauh. Pria ini hebat, penuh pengertian dan penyabar!

Akan tetapi tentu ada batasnya, maka dia tidak boleh sekali-kali mengemukakan dugaannya Sin Liong adalah anak kandungnya yang dibesarkan oleh monyet. Hat itu tentu kelak akan mendatangkan hal-hal yang tidak enak! Pria ini baik sekali, akan tetapi dia tidak boleh terlalu mendesaknya, tidak boleh mengujinya terlalu berat.

“Dia? Dia masih hidup, entah dimana, akan tetapi, Kui-koko, bagiku dia telah mati.”

“Apakah dia mencintamu?”

Si Kwi menggeleng kepalanya keras-keras.
“Sama sekali tidak! Seujung rambutpun tidak!”

“Hemm... dan kau? Cintakah kau kepadanya, moi-moi?”

Kembali Si Kwi menggeleng kepala, akan tetapi tidaklah begitu keras.
“Tidak, kukira tidak, aku menganggapnya telah mati.”

“Baik sekali, kalau begitu berarti engkau bebas. moi-moi! Dan anak itu?”

“Dia... dia mati ketika terlahir.”

“Ah, kalau begitu, tidak ada hal yang memberatkanmu untuk menerima pinang¬anku, Liong-moi!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: