***

***

Ads

Kamis, 09 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 020

Si Kwi cepat meloncat turun dari atas batu dan membalikkan tubuh. Matanya berkilat bercahaya ketika dia melihat datangnya seorang laki-laki muda tampan berpakaian sasterawan dan diam-diam dia memperhatikan ke kanan kiri karena dia merasa heran mengapa lima orang pelayannya membiarkan orang asing ini memasuki Lembah Naga!

Kui Hok Boan sudah lebih dulu menggunakan senjatanya yang biasanya amat ampuh dalam menghadapi wanita. Dia memainkan matanya, menggerakkan alisnya yang tebal dan tersenyum manis, lalu menjura dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, memberi hormat dengan sikap sopan sekali.

“Harap nona sudi memaafkan kelancanganku kalau aku mengganggu.”

Si Kwi mengerutkan alisnya, tidak menjawab dan dia menoleh ke kanan kiri, merasa makin heran dan penasaran, bagaimana lima orang pelayannya yang setia itu sama sekali tidak tahu akan kedatangan orang ini.

Melihat wanita yang mempesona itu mengerutkan alis dan dengan sikap angkuh tidak menjawab kata-katanya melainkan memandang ke kanan kiri jantung Hok Boan berdebar. Bukan main cantik dan manisnya wanita ini, pikirnya heran. Sudah banyak dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah ada yang menggerakkan hatinya seperti wanita bertangan kiri buntung ini! Dia maklum atau dapat menduga apa yang dicari oleh wanita itu, maka dia kembali menjura dan berkata halus,

“Kalau nona mencari lima orang pembantumu itu, ketahuilah bahwa mereka tadi menghadang dan hendak menghalangiku untuk datang berkunjung ke Istana Lembah Naga, oleh karena itu secara terpaksa sekali aku menidurkan mereka secara lembut dengan totokan. Akan tetapi sama sekali tidak berbahaya, nona, sama sekali tidak berbahaya...”

Sinar mata itu berkilat menatap wajah Hok Boan, sinar mata itu merayap dari atas ke bawah, dalam sekejap saja telah meneliti keadaan jasmani pemuda itu, lalu sinar mata yang amat tajam itu kembali menentang wajah Hok Boan. Bibir yang merah tipis dan manis itu terbuka, bergerak dan terdengar bentakan halus,

“Siapa engkau? Dan apa kehendakmu datang ke tempat ini secara memaksa?”

Pertanyaan yang mendesak dan mengandung tegurang biarpun hati Si Kwi sama sekali tidak merasa heran kalau pemuda ini dapat menotok roboh lima orang pelayannya karena mereka itu baru dua tahun dilatih silat. Melihat keadaan pemuda yang lemah lembut ini, dia menduga bahwa tentu pemuda ini memiliki kepandaian tinggi. Dia sudah terbiasa akan hal ini.

Sebagai orang muda yang berdarah panas, maka setiap pemuda yang memiliki kepandaian sedikit saja tentu akan bersikap sombong dan suka berkelahi. Akan tetapi, seorang pemuda yang dapat membawa diri, bersikap tenang dan halus, tidak menonjolkan kepandaian, pemuda seperti itulah yang berbahaya, dan biasanya menyembunyikan kepandaian yang hebat. Seperti Cia Bun Houw misalnya! Teringat ini, kedua pipi Si Kwi menjadi merah dan cepat diusirnya bayangan pemuda itu dan nama pemuda itu.

Mendengar pertanyaan yang singkat dan penuh teguran itu, kembali Hok Boan menjura dan menjawab halus,

“Sekali lagi harap nona sudi memaafkan aku. Sesungguhnya, aku Kui Hok Boan sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap nona atau semua penghuni Istana Lembah Naga. Seperti mungkin nona telah mengenal namaku...”






“Aku tidak mengenal namamu!” Si Kwi memotong cepat dan ketus.

Hok Boan tidak merasa menyesal atau menjadi marah mendengar pemotongan kata-katanya yang ketus itu. Dia tetap memandang dengan wajah berseri, lalu tersenyum dan berkata lagi,

“Maaf, agaknya aku lupa bahwa penghuni Istana Lembah Naga tentu saja tidak mengenal nama seorang yang tidak berharga seperti aku ini. Karena itu, baiklah dalam kesempatan ini aku memperkenalkan namaku. Aku she Kui bernama Hok Boan dan aku memimpin teman-teman di Padang Bangkai.”

“Hemm, kiranya kepala perampok yang baru?”

Hok Boan mengerutkan alisnya.
“Nona boleh memandang rendah kepadaku, akan tetapi harap suka melihat dengan jelas dan dapat membedakan orang. Aku datang ke Padang Bangkai kurang lebih setahun yang lalu, dalam pertempuran membunuh kepala perampok Sin-jio Coa Lok dan karena kasihan kepada tiga puluh orang anak buahnya yang sudah menyerah maka aku memimpin mereka menuju ke jalan benar. Sekarang, mereka itu bukanlah perampok lagi, nona. Padang Bangkai telah mengalami perubahan besar dan bukan merupakan tempat angker dan menyeramkan lagi bagi manusia. Dusun-dusun baru telah mulai dibangun oleh mereka yang berdatangan.”

Si Kwi merasa tersindir. Memang dia sudah mendengar dari para pelayannya akan kemajuan Padang Bangkai dan betapa tempat itu kini mulai ramai de¬ngan para penduduk baru yang membangun dusun-dusun, Lembah Naga masih saja merupakan tempat angker yang tidak boleh didatangi orang luar.

“Cukup, tidak perlu engkau memamer¬kan dan mempropagandakan Padang Bangkai. Sekarang katakan apa keperluan¬nya datang ke sini!”

Kembali Hok Boan menjura dengan hormat.
“Tidak ada keperluan lain ke¬cuali datang berkunjung sebagai tetangga, sebagai sahabat...”

“Seorang sahabat macam apa engkau ini! Begitu datang telah menotok roboh lima orang pelayanku.”

“Akan tetapi mereka yang memaksaku, nona...”

“Hemm, agaknya setelah engkau ber¬hasil merampas Padang Bangkai, engkau hendak main gila disini mengandalkan kepandaianmu, ya? Kau kira aku takut menghadapimu. Kau kira akan mudah saja merampas Istana Lembah Naga seperti yang telah kau lakukan dengan Padang Bangkai?”

“Eh... ah... bukan begitu, nona...”

“Cerewet! Perlihatkan kepandaianmu!”

Si Kwi sudah menghardiknya dan seketika dia menerjang dengan tamparan tangan kanannya ke arah pipi Hok Boan. Pemuda sasterawan ini terkejut bukan main. Dia hanya melihat wanita itu menggerakkan tangan dan tahu-tahu ada angin me¬nyambar dahsyat dan tangan itu telah menyambar dekat sekali dengan pipinya!

Hanya dengan jalan melempar tubuh atas ke belakang saja dia berhasil menghindarkan diri dari tamparan itu. Angin tamparan itu masih menyambar pipinya, dingin dan kuat sekali. Bukan main, pikirnya. Pantas saja wanita ini ditakuti orang, kiranya memiliki gerakan yang sedemikian cepatnya.

Sementara itu, Si Kwi menjadi penasaran juga ketika tamparannya yang dilakukan cepat tadi dapat dielakkan lawan. Dia merasa gemas dan sambil mengeluarkan lengking nyaring dia menyerang secara hebat dan bertubi-tubi. Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang meloncat tinggi sambil menerkam dan menyerang, kecepatannya seperti seekor burung walet terbang!

“Eh... ohh... nanti dulu, nona...!” Hok Boan berseru kaget dan meng¬elak atau menangkis kalang kabut.

Nona itu hanya mempunyai satu tangan kanan saja, akan tetapi tangan kiri yang buntung itu ternyata dipergunakan pula untuk menyerang, dengan jalan menotok jalan darah!

Yang amat mengagumkan hati Hok Boan adalah kecepatan wanita itu, kecepatan yang luar biasa dan dia harus mengakui bahwa dalam hal limu gin-kang, agaknya dia sendiri tidak akan mampu menandingi nona ini. Karena dia berseru dan berkali-kali menahan, hampir saja sebuah tendangan kilat yang dilakukan selagi tubuh wanita itu berada di atas mengenai dagunya. Dia terkejut dan mengeluarkan keringat dingin ketika tubuhnya dia lempar ke belakang sambil berjungkir balik, membuat salto.

“Tahan, nona. Aku bukan musuh...”

“Tidak perduli. Engkau sudah merobohkan lima orang pelayanku, berarti engkau adalah musuhku!”

Si Kwi membentak dan menyerang lagi karena hatinya makin penasaran melihat betapa serangan-serangannya yang sudah dilakukan sebanyak belasan jurus itu tidak pernah mengenai sasarannya.

“Baiklah, agaknya engkau berpegang kepada kebiasaan kang-ouw bahwa sebelum bertanding tidak kenal!”

Hok Boan berkata dan mulailah dia membalas serangan Si Kwi. Pemuda sasterawan ini amat tertarik kepada Si Kwi dan kini dia ingin mengukur sampai dimana tingkat kepandaian wanita yang amat menyentuh perasaan hatinya ini.

Perkelahian hebat terjadi di depan guha. Melihat ini, Sin Liong mengeluarkan suara marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, matanya mengeluarkan sinar berapi dan dia menyeringai, memperlihatkan giginya yang kecil-kecil seperti laku seekor monyet kalau marah!

Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan monyet besar dan biang monyet yang selama ini selalu membayangi dan menjaga Sin Liong, cepat meloncat ke bawah dan menyambar tubuh Sin Long, dipondongnya dan dibawanya berloncatan naik melalui batu-batu di pinggir guha, terus dibawanya naik ke atas pohon dimana dia duduk nongkrong sambil memondong Sin Liong dan diajaknya anak itu menjadi penonton dari tempat yang aman itu.

Lega hati Si Kwi melihat ini. Dia tadi sudah khawatir kalau-kalau Sin Liong yang masih mempunyai watak liar dan kadang-kadang seperti seekor monyet yang susah dijinakkan itu akan menjadi marah dan maju membantunya. Hal itu kalau sampai terjadi, tentu saja membahayakan keselamatan anak itu sendiri. Lawannya ini seorang yang pandai, dan siapa tahu apa yang akan dilakukan oleh ketua Padang Bangkai ini terhadap anak itu kalau Sin Liong berani maju membantunya.

Kini, melihat Sin Liong dalam keadaan aman di pohon tinggi, dijaga oleh monyet betina besar itu, Si Kwi dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada gerakan kaki tangannya dan mulailah dia menyerang dengan hebat. Dia tidak membawa pedang ataupun senjata rahasianya yang amat lihai, yaitu paku Hek-tok-ting, akan tetapi karena dia melihat bahwa pemuda sasterawan itupun tidak membawa senjata apapun, maka dia tidak merasa khawatir.

Liong Si Kwi adalah murid seorang tokoh besar dunia kang-ouw, yaitu mendiang Hek I Siankouw, bahkan dia menerima banyak gemblengan ilmu silat tinggi pula dari kekasih gurunya itu, yaitu Hwa Hwa Cinjin.

Dari dua orang kakek dan nenek ini dia menerima ilmu silat gabungan yang diberi nama Im-yang Lian-boan-kung ilmu yang dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata. Selain itu, juga Si Kwi pandai sekali main silat dengan siang-kiam, yaitu sepasang pedang dan kini setelah tangan kirinya buntung, tentu saja dia tidak lagi dapat memainkan dua pedang, melainkan tinggal sebuah saja yang biasa dimainkan dengan tangan kanannya.

Dan di samping ilmu senjata rahasia Hek-tok-ting, paku beracun hitam yang amat berbahaya, juga dia adalah seorang ahli ilmu gin-kang. Karena kecepatan gerakannya inilah maka di waktu dia belum bersembunyi di Istana Lembah Naga, di dunia kang-ouw dia dijuluki orang Ang-yang-cu (Burung Walet Merah) karena gerakannya seperti terbang dan pakaiannya selalu berwarna merah.

Kini, dalam keadaan marah dan penasaran, Liong Si Kwi menghadapi Hok Boan dan mainkan Ilmu Silat Im-yang Lian-hoan-kun yang hebat. Tubuhnya seperti beterbangan menyambar-nyambar dan dalam serangkaian serangan selama tiga puluh jurus pertama, Hok Boan yang terkejut dan kagum itu terdesak hebat!

Namun, pemuda sasterawan ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang pandai, ditambah lagi dengan pengalamannya yang banyak di dunia kang-ouw, maka dia masih berhasil mempertahankan diri dengan baik.

Tentu saja dia tidak dapat mengandalkan kegesitannya untuk bergerak. Ketika dia menghadapi mendiang Sin-jio Coa Lok, dia kelihatan amat lincah dan gesit karena dia menang gesit dibandingkan dengan Coa Lok. Akan tetapi sekarang, bertemu dengan Si Kwi, dia kelihatan lamban! Dia kalah gesit, kalah cepat sehingga tidak mungkin dia dapat mengimbangi dan menandingi lawan ini kalau dia mengandalkan kecepatan.

Maka dia tidak mau banyak mengelak, khawatir kalau didahului lawan yang lebih cepat. Dia lebih bersikap tenang dan mengandalkan pertahanannya yang kokoh kuat dengan jalan menangkis dan hanya kadang kala saja dia mengelak. Setiap tangkisannya dilakukan dengan pengerahan tenaga karena pemuda yang cerdik ini segera mengerti bahwa biarpun dalam hal gin-kang dia kalah cepat, namun dalam hal sin-kang dia menang kuat.

Setelah tiga puluh jurus lewat dan selama itu Hok Boan hanya dapat mempertahankan diri selalu, kini mulailah dia balas menyerang! Dan serangan-serangan Hok Boan amat kuatnya, mendatangkan angin bersuitan sehingga Si Kwi harus berhati-hati dan sebaliknya dari lawan, dia mengandalkan kecepatan gerakan ketika menghadapi serangan pemuda itu.

Diam-diam Si Kwi terkejut dan juga kagum. Sasterawan muda yang bersikap sopan dan halus ini ternyata benar-benar hebat! Dia teringat akan Cia Bun Houw, pendekar sakti pujaan hatinya yang juga kelihatan seperti seorang pemuda sasterawan lemah namun sesungguhnya memiliki kesaktian yang amat luar biasa. Biarpun pemuda ini tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan pendekar muda yang sakti itu, namun keadaan pemuda yang menjadi ketua Padang Bangkai ini cukup menimbulkan rasa kagum di dalam hatinya.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: