***

***

Ads

Sabtu, 22 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 251

“Eh, eh, apa maksudmu?” Giok Keng bertanya heran, menatap wajah suaminya melalui sinar api unggun yang merah.

“Perjodohan adalah urusan dua orang saja, urusan pria dan wanita yang bersangkutan, urusan hati dan perasaan mereka, dan orang lain, siapapun mereka itu, baik orang tua sendiri sekalipun, tidak semestinya mencampuri! Orang tua atau keluarga hanya membantu pelaksanaannya belaka, akan tetapi sedikitpun tidak boleh mencampurinya, karena sekali mencampuri, hanya akan merusak suasana! Cobalah kita pikir secara mendalam dan jujur. Andaikata... andaikata keluarga Cin-ling-pai tidak mencampuri urusan cinta kasih antara Lie Seng dan Sun Eng, kurasa cinta kasih mereka tidak akan berakhir sedemikian menyedihkan.”

Cia Giok Keng diam saja, tak bergerak seperti pulas dalam pelukan suaminya. Akan tetapi sesungguhnya dia merasa terpukul, tertusuk dan ucapan suaminya itu mengena benar di hatinya dan terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dengan diri Lie Seng dan Sun Eng.

“Aku tidak mencela siapa-siapa, tidak mencela keluarga kita yang mencampuri, karena aku tahu bahwa maksud kalian semua itu baik saja. Akan tetapi baik untuk siapa? Untuk kalian sendiri tentu saja, bukan untuk Lie Seng dan Sun Eng. Itulah akibatnya kalau kita sebagai orang-orang tua mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang anak muda.”

Hening sejenak. Akhirnya terdengar suara pembelaan Cia Giok Keng, lirih dan lemah,
“Akan tetapi mana mungkin seorang ibu seperti aku mendiamkannya saja melihat puteranya keliru memilih calon jodoh? Aku ingin melihat puteraku bahagia...”

“Nah, di situlah letak kesalahannya, bukan? Kita ingin melihat putera kita bahagia, oleh karena itu kita hendak memilihkan jodoh yang tepat untuk putera kita! Ah, seolah-olah jodoh itu seperti sehelai baju yang dapat kita patut-patut. Bahkan bajupun tergantung daripada selera, isteriku, dan selera kita tentu belum tentu sama dengan selera putera kita! Apa yang kita anggap baik belum tentu baik bagi putera kita, oleh karena itu wajarlah kalau apa yang dianggap baik oleh putera kitapun belum tentu baik bagi pandangan kita.”

“Kalau kita berkata bahwa kita ingin melihat putera kita bahagia, maka dia harus menurut pilihan kita, bukankah itu berarti bahwa sesungguhnya, di balik semua kata-kata kita itu, kita sebetulnya ingin melihat hati kita sendiri senang karena putera kita memilih jodoh yang kita sukai? Kita harus jujur, isteriku. Dalam perjodohan, yang terutama adalah cinta-mencinta. Itu saja, yang lain tidak masuk hitungan! Dan cinta kasih, apakah cinta itu mengenal usia, maupun kedudukan, maupun baik buruk? Cinta adalah cinta dan bagaimana mungkin kita dapat menyalahkan seseorang, apalagi putera kita sendiri kalau dia jatuh cinta kepada se¬seorang? Kalau engkau jatuh cinta kepadaku dan aku jatuh cinta kepadamu, siapakah yang berhak menyalahkan kita, isteriku?”

Giok Keng termenung.
“Jadi... kau pikir... dahulu Lie Seng dan Sun Eng sudah saling jatuh cinta, maka mereka berdua sudah berhak untuk saling berjodoh, dan kita, fihak keluarga dan orang-orang tua, sama sekali tidak boleh mencampurinya?”

“Tidakkah begitu menurut kesadaranmu?”

“Ah, engkau mengatakan begitu karena sekarang akibatnya buruk bagi mereka.”

“Bukan, isteriku. Aku tidak mengatakan bahwa andaikata dahulu keluarganya tidak mencampuri, Lie Seng dan Sun Eng akan hidup berbahagia atau tidak sampai mendapatkan halangan. Soal halangan dan apakah hidup dapat beruntung atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini. Akan tetapi, setelah kita mencampuri urusan jodoh mereka sehingga akhirnya persoalan menjadi berlarut-larut dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan, bukankah hal itu menyadarkan kita bahwa urusan jodoh adalah urusan dua orang dan dimana ada cinta-mencinta maka perjodohan itu sudah benar, asalkan tidak melanggar suatu hal lain yang merugikan orang lain? Lie Seng masih bebas, dan Sun Eng pun wanita bebas, mereka saling mencinta, maka sudah benarlah itu, dan sudah benar pula kalau mereka itu saling berjodoh. Kita harus dapat melihat kesalahan kita yang telah mencampuri urusan mereka, lepas dari soal apakah hal itu mendatangkan kerusakan atau kebaikan.”






Hening lagi sejenak dan perlahan-lahan, semua ucapan suaminya itu dapat menembus kekerasan hati Cia Giok Keng dan dapat membuka mata hatinya.

”Akan tetapi... bagaimana kalau apa yang terjadi dengan pilihan Ciauw Si itu?”

“Apa salahnya pilihan Ciauw Si? Diapun memilih pangeran itu karena saling mencinta, dan kita harus menghormatinya bahwa dia memang benar-benar mencinta pilihan hatinya itu, sampai mati sekalipun! Demikianlah seharusnya orang memilih jodohnya, berdasarkan cinta, bukan berdasarkan sifat-sifat baik dari yang dipilih, karena memilih jodoh berdasarkan apakah yang dipilih itu tampan, cantik, pandai, kaya, berpangkat, berbudi dan sebagainya sama sekali bukan berdasarkan cinta, melainkan berdasarkan ingin menyenangkan hati sendiri. Bukankah demikian?”

Akhirnya ibu yang merana ini kembali terisak dan merangkul suaminya.
“Engkau benar... mengapa aku hendak mencampuri urusan cinta kasih anak-anakku? Aku tidak ingat akan pengalamanku sendiri, pengalaman kita...”

“Sudahlah, isteriku. Segala sesuatu telah terjadi, dan betapapun juga, kita harus bangga mempunyai anak-anak yang demikian tulus cinta kasihnya seperti Lie Seng dan Ciauw Si.”

Memang demikianlah adanya. Betapa banyaknya orang tua yang tanpa mereka sadari sendiri telah melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali menyimpang daripada cinta kasih dan kebenaran. Kita selalu ingin menyatakan cinta kasih kita kepada anak-anak kita dengan jalan mengatur sedemikian rupa untuk anak-anak kita, bukan hanya mengatur pendidikannya, pemeliharaannya, akan tetapi juga kita ingin mengatur masa depannya, mengatur kesukaannya, bahkan mengatur jodoh mereka!

Kita beranggapan bahwa kalau anak-anak kita itu menurut kepada kita, mereka pasti akan hidup berbahagia, seolah-olah kehidupan merupakan garis tertentu yang sudah mati, yang dapat diatur sedemikian rupa menuju kepada kebahagiaan! Seolah-olah apa yang kita anggap baik dan menyenangkan tentu akan baik dan menyenangkan pula bagi anak-anak kita! Kita lupa bahwa kehidupan itu selalu berubah, bahwa alam-pikiran dan selera manusia itupun berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Apa yang kita sendiri senangi di waktu kita masih kanak-kanak akan menjadi membosankan di kala kita sudah dewasa, dan apa yang menyenangkan kita di waktu kita dewasa mungkin akan menjadi memuakkan di waktu kita telah tua.

Oleh karena itu, benarkah itu kalau kita memakai ukuran mata kita untuk mengatur kehidupan anak-anak kita yang lebih muda dan mempunyai selera lain sama sekali dari kita? Benarkah kita mencinta anak-anak kita kalau kita hanya ingin mereka itu menurut kepada kita, yang pada hakekatnya menunjukkan bahwa sesungguhnya kita ingin senang sendiri. Ingin melihat anak-anak kita menuruti kemauan hati kita? Cinta adalah demi si anak, demi perasaan hati si anak, se¬karang, bukan kelak! Bukan masa depan, melainkan saat demi saat!

Maukah kita sebagai orang tua yang bijaksana memberi kebebasan seluasnya kepada anak-anak kita, dengan memberi petunjuk-petunjuk, bukan mendikte, melainkan memberi petunjuk dan menjaga, membuka mata batin mereka kalau mereka itu tanpa mereka sadari menyeleweng, dengan penuh kasih sayang dan demi kebahagiaan mereka saat demi saat? Hal ini hanya mungkin dilakukan kalau sudah tidak ada keinginan dalam hati kita untuk menikmati kesenangan diri sendiri melalui anak kita!

Setelah tiba di kota raja, keluarga Cin-ling-pai mengajak Sin Liong dan Bi Cu untuk ikut ke Cin-ling-pai.

“Engkau adalah puteraku, dan Bi Cu adalah calon mantuku,” demikian Cia Bun Houw berkata dengan terus terang kepada mereka, “maka sebaiknya kalau kalian berdua ikut bersama kami ke Cin-ling-pai. Engkau adalah keluarga Cin-ling-pai dan berhak tinggal disana, dan karena semenjak kecil kita saling berpisah, maka sebaiknya kalau kita sekarang berkumpul.”

“Benar, Sin Liong. Ayahmu dan aku ingin membangun kembali Cin-ling-pai. Marilah ikut bersama kami disana, ke Cin-ling-san!” Cia Giok Keng juga membujuk.

“Akan tetapi... sri baginda kaisar telah menganugerahkan Lembah Naga kepada kami...” Sin Liong menjawab agak ragu-ragu.

“Maksudku untuk sementara kalian tinggal di Cin-ling-san sampai kalian menikah. Kalau kalian sudah menikah, terserah kalau kalian ingin tinggal di Istana Lembah Naga,” kata Bun Houw.

“Apakah tidak terlalu sunyi tinggal di tempat itu?” Cia Giok Keng bertanya.

“Ah, kalau tinggal berdua, mana bisa merasa sunyi?”

Yap Kun Liong menyambung sambil tertawa dan semua orang tertawa, juga Bi Cu tersenyum malu-malu.

“Banyak terima kasih atas kebaikan ayah, ibu dan paman serta bibi berempat. Kami berdua pasti akan pergi ke Cin-ling-san, akan tetapi sekarang ini kami ingin pergi ke selatan untuk menengok adik-adik saya Kui Lan dan Kui Lin. Setelah menengok mereka, kami tentu akan menyusul ke Cin-ling-pai dan selanjutnya tentang pernikahan, terserah kepada semua orang tua di Cin-ling-pai.”

Akhirnya mereka semua setuju dan berangkatlah Sin Liong dan Bi Cu ke kota Su-couw di Ho-nan. Sesungguhnya, bukanlah semata untuk menengok Lan Lan dan Lin Lin saja mereka pergi ke Su-couw, melainkan untuk melihat keadaan Kui Hok Boan. Di tengah perjalanan menuju ke kota raja, Sin Liong telah menceritakan secara terus terang kepada Bi Cu bahwa dia menduga keras bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu adalah Kui Hok Boan, ayah tirinya sendiri.

“Aku mendengar ketika dia mengigau,” demikian antara lain Sin Liong menuturkan. “Dan agaknya dialah yang membunuh ayahmu.”

“Keparat, sungguh jahat jahanam itu! Aku harus membalas kematian ayah!” Bi Cu berkata dengan marah.

“Nanti dulu, Bi Cu, dengarlah dulu baik-baik. Ketahuilah, bahwa ketika dia mengigau itu, dia berada dalam keadaan tidak sadar dan dia telah berubah ingatannya.”

“Ah? Maksudmu, dia...” Bi Cu membuat tanda dengan melintangkan telunjuk di atas dahinya.

“Benar, dia telah mengalami tekanan batin sehingga menjadi gila.”

Sin Liong lalu menceritakan tentang semua riwayat Kui Hok Boan, kemudian tentang dua orang pemuda yang sebenarnya adalah anak-anaknya sendiri akan tetapi yang diakuinya sebagai keponakan dan betapa dua orang anaknya itu saling bermusuhan dan saling bunuh sendiri. Semua itu membuat Kui Hok Boan merasa menyesal dan membikin dia menjadi gila.

“Nah, dalam keadaannya seperti sekarang ini, dalam keadaan hidup menderita dan merana, sampai menjadi gila, apakah engkau masih mempunyai gairah untuk membalas dendam? Membalas kepada orang yang sudah terhukum sehebat itu karena perbuatan-perbuatannya sendiri?”

Bi Cu termangu-mangu, kemudian berkata,
“Memang tidak enak memusuhi orang sakit, apalagi sakit gila. Akan tetapi aku masih penasaran sebelum melihat keadaannya dengan mata sendiri, Sin Liong. Mari kita mengunjunginya dan setelah melihat keadaannya, baru aku akan memutuskan apakah aku akan membalas kematian ayah ataukah tidak.”

Demikianlah, setelah mendapatkan persetujuan para tokoh Cin-ling-pai, Sin Liong dan Bi Cu lalu berangkat ke selatan. Mereka menunggang dua ekor kuda yang amat baik karena mereka mendapatkan hadiah dari Pangeran Hung Chih. Pakaian merekapun serba bersih dan indah. Bukankah mereka adalah pahlawan-pahlawan yang berjasa menentang dan menggagalkan pemberontakan? Mereka menerima banyak hadiah berupa pakaian dan uang emas dari pangeran itu, bahkan kaisar sendiri berkenan menyerahkan Istana Lembah Naga kepada Sin Liong setelah mendengar bahwa pendekar itu terlahir di dalam istana itu.

Raja Sabutai telah dihubungi melalui utusan dan raja itupun tidak membantah ketika kaisar menentukan bahwa istana itu diserahkan dan menjadi hak milik yang dilindungi dari Cia Sin Liong!

Tentu saja perjalanan kali ini yang dilakukan oleh Sin Liong dan Bi Cu berbeda dengan perjalanan-perjalanan yang lalu sebagai orang yang dikejar-kejar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw. Kini mereka berdua melakukan perjalanan dengan santai dengan hati penuh keriangan, karena hati mereka penuh dengan cinta kasih yang terpancar dari sinar mata mereka yang saling memandang penuh kelembutan, kata-kata yang penuh kemesraan dan sentuhan-sentuhan yang menggetar.

Mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencinta, melakukan perjalanan bersama. Kadang-kadang mereka berlumba dengan kuda mereka dan ada kalanya mereka berjalan kaki sambil bergandengan tangan, menuntun dua ekor kuda itu di belakang mereka, dan kalau mereka beristirahat, Bi Cu menyandarkan dadanya di pundak atau dada Sin Liong.

Akan tetapi, betapapun mesra hubungan antara mereka, dan betapapun besar cinta kasih mereka, keduanya selalu menjaga diri dan mereka tidak sampai melakukan pelanggaran dalam hubungan mereka itu. Sebaliknya, seorang wanita yang sejak kecil hidup sendiri dan tidak malu-malu seperti kebanyakan wanita muda, pernah dalam keadaan istirahat itu Bi Cu menyatakan terus terang kepada Sin Liong.

“Sin Liong, kita sudah bertunangan secara resmi, direstui oleh ayahmu dan keluarga Cin-ling-pai.”

“Ya, kita beruntung sekali, Bi Cu,” jawab Sin Liong sambil mengelus rambut yang hitam halus dan panjang itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: