***

***

Ads

Rabu, 12 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 218

“Bi Cu...!”

Teriakan Sin Liong ini nyaring sekali karena memang dia kaget bukan main melihat betapa tubuh Bi Cu juga melayang dan meluncur turun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa dara itu akan melakukan perbuatan senekat itu, menyusul dia terjatuh ke dalam jurang dengan meloncat. Kalau dia sendiri yang terjatuh, tentu dia akan mencari akal untuk dapat terhindar dari ancaman maut, akan tetapi kini Bi Cu juga turut jatuh, maka seketika dia menjadi nanar dicekik rasa khawatir yang hebat. Dia terjatuh dalam keadaan terjengkang, maka tubuhnya terlentang. sedangkan Bi Cu yang meloncat itu menelungkup.

Cepat Sin Liong menyambar tangan kiri Bi Cu dan dia berhasil menangkap pergelangan lengan kiri dara itu. Lalu dia merangkul pinggang Bi Cu dengan erat. Bi Cu juga merangkul sambil memejamkan mata karena ngeri.

“Sin Liong...!” isaknya.

Biarpun maklum bahwa mereka melayang ke dalam jurang yang seolah-olah tanpa dasar saking dalamnya, dan bahwa tubuh mereka tentu akan hancur lebur kalau menimpa dasar jurang, namun Sin Liong tidak mau kehilangan semangat dan kesadarannya. Selagi masih hidup dia harus berdaya upaya menyelamatkan diri!

Dengan cepat kedua tangannya merenggut kancing baju di depan tubuhnya. Untung pinggang Bi Cu amat ramping sehingga biarpun lengan kanannya sudah melingkari pinggang itu tangan kanannya masih dapat mencapai depan bajunya. Sekali renggut, terlepaslah semua kancing bajunya dan kini dia memegangi kedua ujung baju yang terbuka itu dengan kedua tangannya, dibentangkan seperti sayap.

Usahanya berhasil! Dia merasakan tekanan dari bawah seolah-olah luncuran mereka berdua agak tertahan sedikit, tidak selaju tadi, dan bajunya yang dibentangkan itu mengembang dan menangkap angin.

“Bi Cu, cepat buka bajumu... kembangkan bajumu seperti ini... seperti layar...!” teriaknya.

Bi Cu menghentikan isaknya. Mula-mula dia tidak mengerti mengapa dia disuruh membuka bajunya. Akan tetapi ketika dia memberanikan hati membuka mata dan melihat apa yang dilakukan Sin Liong, dia cepat menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari gemetar dia merenggut bajunya.

Setelah dirobeknya baju itu dan dilain saat diapun sudah memegangi ujung kanan kiri bajunya yang dibentangkan. Kembali ada tenaga menahan dari bawah ketika baju itu menangkap angin dan mengembang. Luncuran mereka tertahan dan tidak secepat tadi, akan tetapi tentu saja kedua “layar” itu tidak cukup kuat untuk menahan dan tubuh mereka masih terus meluncur ke bawah.

Sambil merangkul pinggang Bi Cu, Sin Liong miringkan tubuhnya dan memandang ke bawah. Hampir pingsan dia karena pening ketika melihat bawah yang demikian dalamnya, akan tetapi dia menggoyang kepala mengusir kepeningan dan rasa ngeri.

Dia melihat sebatang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu. Pohon yang cukup besar. Itulah yang akan menolong kita, pikirnya. Kalau gagal mereka tentu akan tewas! Dia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakkan kakinya sehingga tubuhnya bersama tubuh Bi Cu melayang agak dekat dengan tebing.

Pohon itu seperti melayang ke atas, makin lama makin besar mendekati mereka. Memang berbahaya sekali. Kalau terlalu dekat dengan tebing tubuh mereka meluncur, membentur batu tebing sedikit saja, tentu mereka akan tewas sebelum tiba di dasar jurang. Pohon itu makin besar kini, seolah-olah terbang naik ke arah mereka, bukan mereka yang meluncur ke arah pohon.






Sin Liong siap dengan tangan kirinya sedangkan lengan kanan tetap merangkul pinggang Bi Cu. Biar maut sekalipun tidak akan mampu memaksa dia melepaskan pinggang dari rangkulan lengan kanannya itu.

“Bresssss...!”

Mereka telah tiba di tengah-tengah pohon itu dan tubuh mereka berhenti meluncur. Sin Liong telah berhasil! Tangan kirinya dapat menangkap sebatang cabang pohon itu dan mereka bergantung di situ. Pakaian mereka robek-robek dan tubuh mereka lecet-lecet, bahkan Bi Cu yang masih dirangkul pinggangnya oleh lengan kanan Sin Liong itu terkulai lemas. Pingsan!

Sin Liong cepat menarik dirinya duduk di atas cabang, lalu menarik Bi Cu, dipangkunya di tempat aman itu, di dahan yang bercabang. Lengan kirinya terasa nyeri bukan main. Baru terasa setelah dia dapat duduk dengan aman di atas dahan. Ketika digerakkannya lengan itu, hampir dia menjerit dan tahulah dia bahwa lengan itu terkilir pada sambungan paling atas dekat pundak.

“Bi Cu... Bi Cu... sadarlah...!”

Berkali-kali dia memanggil dara yang dipangkunya dan dirangkulnya itu. Dalam keadaan lengan kirinya terkilir, sukarlah baginya untuk melanjutkan mencari jalan selamat. Mereka masih tergantung di dalam pohon besar itu yang tumbuh agak miring di dinding yang terjal. Di bawah curam sekali dan mereka belumlah terbebas sama sekali dari bahaya, sungguhpun sementara ini tidak lagi terancam maut seperti tadi.

Akhirnya Bi Cu bergerak lemah dan bibirnyapun bergerak, berbisik lirih,
“Sin Liong... ah, Sin Liong... jangan tinggalkan aku...!”

Hampir Sin Liong tertawa. Gadis ini seperti orang tidur mengigau saja! Akan tetapi hatinya terharu karena igauannya itu membayangkan rasa takutnya, bukan takut mati karena seorang gadis seperti Bi Cu agaknya tidak takut akan kematian, melainkan takut ditinggalkan sendirian di atas sana, bersama Pangeran Ceng Han Houw dan para musuh itu!

Mengingat pangeran itu, Sin Liong menggeram di dalam batinnya. Sungguh kejam sekali pangeran itu! Mengapa dahulu dia selalu menganggap pangeran itu orang yang baik budi? Sekarang dia mulai sadar bahwa apapun yang dilakukan oleh pangeran itu adalah demi kepentingan pangeran itu sendiri. Andaikata ada perbuatannya yang nampak baik, seperti ketika menyelamatkannya dahulu itu, maka perbuatan itu bukanlah terdorong oleh hati yang baik, melainkan dipergunakan sebagai siasat demi kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri belaka. Baru kini terbuka matanya dan dia mengenal betul orang macam apa adanya Ceng Han Houw yang selama ini dianggapnya sebagai kakak angkat!

Kini Bi Cu sudah membuka matanya. Terbelalak dia ketika melihat betapa dia berada di atas dahan, dikelilingi daun-daun yang begitu banyaknya dan tubuhnya terasa sakit-sakit. Teringatlah dia dan dia terbelalak bertanya,

“Eh, Sin Liong, kita... kita ini di alam baka? Ini sorga atau neraka?”

Kini Sin Liong tidak dapat menahan ketawanya. Akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali.

“Heiii, kita dimana ini? Di dalam pohon? Jadi kita belum mati? Wah, ngeri... begini tingginya!”

Bi Cu kini merangkul dahan yang berada di atasnya sambil memandang ke bawah dengan mata terbelalak.

“Kita masih hidup, Bi Cu. Pohon ini menolong kita, akan tetapi lengan kiriku... ah, sakit bukan main, terkilir agaknya. Harus dikembalikan ke tempatnya sebelum aku dapat mencarikan jalan keluar dari sini.”

“Ah, kenapa sampai terkilir, Sin Liong? Hemm, aku mengerti sekarang. Tentu ketika melayang jatuh tadi engkau menggunakan tangan kirimu menyambut dahan pohon! Betul tidak?”

Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kegembiraan seperti anak-anak yang dapat menebak teka-teki dengan tepat.

“Aihhhh... kau ini!”

Sin Liong tersenyum lebar, tak dapat ditahannya itu karena sikap Bi Cu yang demikian lincah gembira, padahal mereka berada di mulut maut! Akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri bukan main, senyumnya menjadi senyum menyeringai.

“Sakit sekalikah, Sin Liong?”

Bi Cu bertanya sambil memegang lengan kiri itu, akan tetapi tubuhnya bergoyang dan cepat dia menyambar dahan di atasnya lagi dan memandang ke bawah dengan ngeri. Hampir dia lupa agaknya bahwa dia duduk di atas dahan pohon berada di tempat demikian curamnya. Gerakannya ini menarik lengan Sin Liong dan tentu saja pemuda itu berteriak saking nyerinya.

“Ah, maaf, Sin Liong. Dapatkah aku membantu?”

“Bi Cu, engkau harus menarik lenganku ini sampai tulangnya kembali ke tempat yang benar. Tariklah kuat-kuat dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirimu memegang dahan dan jangan lupa, kedua kakimu kau ikatkan pada dahan di bawah itu. Hati-hati, tempat ini berbahaya sekali. Jangan terlalu banyak bergerak.”

Bi Cu mengangguk-angguk, lalu mencari tempat berpegang yang kuat, mengkaitkan kedua kakinya pada dahan di bawah, lalu mengulurkan tangan kanan.

“Mana lenganmu, kesinikan!”

Sin Liong sudah merangkul lengan kanan kepada sebatang dahan, memegangnya erat-erat lalu dia mengulurkan lengan kiri kepada gadis itu. Bi Cu menangkap pergelangan tangan Sin Liong, lalu mulai menarik.

Sin Liong menyeringai, memejamkan mata karena rasa nyeri yang amat luar biasa terasa olehnya, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk dari pundak sampai ke seluruh tubuh.

“Terus... terus... tarik terus sedikit lagi...!”

Dia berkata terengah-engah. Bi Cu tidak tega melihat wajah pemuda itu yang menjadi basah oleh peluh yang besar-besar, akan tetapi dia menguatkan hatinya dan membetot terus sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

“Klokkk!” Terdengar suara pada sambungan lengan dan pundak.

“Sudah...! Cukup...!” seru Sin Liong.

Bi Cu melepaskan pegangannya dan melihat betapa Sin Liong menyandarkan kepalanya pada dahan di depan dan lengan kirinya yang sudah tersambung kembali itu tergantung lemas.

“Sin Liong... sakit sekalikah...?”

Suara itu demikian lembutnya dan mengandung isak gemetar sehingga Sin Liong melupakan rasa nyerinya seketika, membuka mata dan memandang gadis itu sambil tersenyum.

“Terima kasih, Bi Cu. Sekarang sudah baik kembali kedudukan tulangnya. Tinggal memulihkan saja. Sayang kita harus tetap tinggal disini sampai lenganku dapat digerakkan kembali.” Lalu dia bertanya heran, “Eh, engkau menangis? Engkau tentu... takut sekali, bukan?”

Bi Cu menggunakan punggung tangan menghapus beberapa butir air mata di pipi dan yang tergantung di bulu mata. Dia menggeleng kepala.

“Tidak takut, bukankah engkau juga disini. Aku hanya... kasihan sekali padamu tadi. Mukamu menjadi mengerikan ketika engkau menahan nyeri tadi...”

Sin Liong tersenyum.
“Sekarang telah sembuh...”

“Tapi kita tidak bisa ke mana-mana. Bagaimana kita dapat keluar dari tempat ini?”

Sin Liong memandang ke arah dinding tebing. Memang tidak mudah. Akan tetapi kalau lengannya sudah sembuh, dia pasti akan menemukan jalan. Akan tetapi sekarang ini tidak mungkin. Hanya menggunakan sebelah lengan saja, mana bias mencari jalan keluar. Dan benarkah Bi Cu yang mencari jalan keluar, dia tidak tega. Berbahaya sekali pekerjaanku itu. Dan untuk sementara waktu mereka aman di pohon itu. Pohon yang cukup besar dan kuat.

“Kita terpaksa tinggal disini, Bi Cu.”

“Sampai berapa lama?”

“Sampai aku dapat menggerakkan kembali lengan kiriku.”

Demikianlah, dua orang muda itu tinggal di pohon itu seperti dua ekor kera! Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan mereka, apalagi karena lengan kiri Sin Liong belum juga sembuh. Mereka terpaksa melewatkan malam gelap di dalam pohon itu!

“Hati-hati, jangan sampai engkau tertidur dan terlepas peganganmu sehingga jatuh ke bawah, Bi Cu.”

Sin Liong memperingatkan ketika cuaca sudah menjadi gelap. Hatinya khawatir sekali. Untung bahwa Bi Cu adalah seorang gadis yang berhati baja, dan juga berwatak riang gembira sehingga dalam keadaan seperti itupun masih suka bergurau! Sikap lincah jenaka ini membuat mereka tidak begitu merasakan penderitaan yang menekan lahir batin.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: