***

***

Ads

Senin, 10 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 201

Bi Cu tidak membantah lagi dan dia lalu ikut berlari digandeng oleh Sin Liong menuju ke bukit di sebelah utara. Benar saja, daerah ini amat sukar dilalui, baru naik sedikit ke lerengnya, mereka sudah harus berloncatan dari batu ke batu, mendaki tebing-tebing yang amat sukar karena selain terjal, juga tebing-tebing ini hanya dari batu-batu gunung yang kasar dan licin. Tidak ada jalan umum, bahkan tidak ada jalan setapak di situ karena daerah liar ini tidak pernah dilalui manusia.

Melihat Bi Cu kesukaran untuk melalui tebing yang amat terjal itu, Sin Liong berkata,
“Bi Cu, sebaiknya engkau kugendong saja. Marilah!”

Akan tetapi Bi Cu memandang ragu.
“Tempat ini amat berbahaya, mengapa engkau mengambil jalan ini, Sin Liong?”

“Sengaja kuambil jalan ini agar para perajurit yang mengejar tidak dapat melaluinya. Paling banyak hanya pangeran sendiri saja yang dapat melanjutkan pengejaran, dan kalau hanya seorang lawan saja, aku masih dapat menanggulanginya. Marilah, Bi Cu, jangan kau khawatir, mari kugendong agar lebih cepat kita dapat pergi.”

Bi Cu menggeleng kepala dan memandang ke bawah, bergidik ngeri karena dia melihat betapa di sebelah bawah nampak jurang yang amat dalam!

“Tempat ini begitu berbahaya, berjalan sendirian saja sudah amat sukar, apalagi harus menggendongku! Tidak, aku tidak mau membikin kau terancam bahaya jatuh...!”

Sin Liong tersenyum lebar. Kembali dara itu menolak demi keselamatannya, bukan demi keselamatan dara itu sendiri! Dan hal ini amat menyenangkan hatinya. Tiba-tiba terdengar suara berdesing dan nampak sinar hitam berkelebat. Sin Liong terkejut, akan tetapi dia sudah berhasil memukul benda hitam yang menyambar itu dengan tangannya dan benda itu ternyata adalah sepotong batu sebesar kepalan tangan yang meluncur dari bawah.

“Sin Liong, engkau hendak lari kemana?”

Terdangar bentakan dan ketika Sin Liong menoleh, jauh di bawah sana dia melihat bayangan beberapa orang, sedangkan yang berteriak itu bukan lain adalah Ceng Han Houw! Ketika Sin Liong mengenal empat orang lain yang datang bersama Han Houw, dia makin terkejut. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio, Hai-liong-ong Phang Tek, Kim-liong-ong Phang Sun, dan seorang yang berpakaian panglima!

Ternyata ada lima orang pandai yang mengejarnya dan lemparan batu dari tempat sedemikian jauhnya namun masih dapat menyambarnya dengan amat tepat dan cepat saja sudah membuktikan bahwa lima orang itu sungguh merupakan lawan yang amat berat.

“Celaka, mereka telah menemukan jejak kita!”

Sin Liong berkata dan tanpa banyak cakap dia menyambar pinggang Bi Cu, diangkat dan dipanggulnya tubuh dara itu dan diapun berloncatan naik dengan cepatnya, seperti seekor monyet memanjat saja.

“Maaf, Bi Cu, tidak ada lain jalan!” katanya.






Bi Cu terbelalak, kemudian memejamkan mata saking ngerinya dibawa berloncatan secepat itu. Diam-diam dia merasa ngeri dan takut, akan tetapi juga kagum bukan main menyaksikan betapa cekatan dan hebat ilmu gin-kang dari pemuda yang tadinya dia kira adalah Sin Liong yang dahulu, yang ilmu silatnya jauh di bawah tingkatnya karena dia sendiri sudah menjadi murid mendiang Hwa-i Sin-kai! Kalau dia ingat betapa dia selalu hendak melindungi Sin Liong selama ini! Kedua pipinya berubah merah dan dia lalu berbisik.

“Sin Liong, biarkan aku berada di belakangmu saja, sehingga aku dapat merangkul kedua pundakmu dan kau tidak perlu memondongku dengan sebelah lengan.”

Sin Liong merasa girang. Memang begini sebaiknya sehingga dengan Bi Cu di belakangnya, dia dapat berlari lebih cepat, dan dapat mengandalkan kedua tangannya untuk membela diri kalau perlu. Maka dia berhenti, menurunkan Bi Cu kemudian dia menggendong Bi Cu di punggungnya.

Dara itu merangkul lehernya dari belakang dan menggunakan kedua kakinya untuk merangkul pinggangnya. Berdebar juga jantung Sin Liong merasakan betapa tubuh dara itu dengan hangat melekat di tubuh belakangnya, akan tetapi cepat diusirnya bayangan ini dan dia berlari terus. Akan tetapi lima orang pengejarnya mengerahkan gin-kang mereka dengan secepatnya.

Tentu saja Sin Liong sama sekali belum mengenal daerah ini dan dia terus memanjat puncak bukit itu dengan harapan akan dapat melarikan diri dari atas puncak itu ke daerah lain dan terbebas dari para pengejarnya.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika akhirnya dia tiba di puncak bukit itu, puncak itu merupakan batu datar yang luasnya hanya beberapa tombak saja! Puncak itu dikelilingi oleh jurang-jurang yang dalamnya tak dapat diukur lagi karena dari situ memandang ke bawah tidak kelihatan dasarnya, hanya nampak tonjolan batu-batu di sepanjang tebing itu seolah-olah sekeliling puncak itu yang ada hanya mulut maut yang terbuka lebar!

Jalan naik satu-satunya hanyalah melalui jalan yang dipergunakannya tadi, dengan memanjat melalui dinding batu-batu bertumpuk-tumpuk. Dari puncak itu tidak mungkin dapat melarikan diri ke lain tempat, kecuali kembali lagi melalui jalan tadi! Padahal, ketika dia menengok ke bawah, dia melihat Han Houw dan empat orang temannya sudah mulai mendaki puncak itu!

“Wah, tidak ada jalan lari lagi!” katanya kepada Bi Cu yang menjadi pucat dan merasa khawatir sekali. “Satu-satunya jalan hanyalah melawan mereka. Bi Cu, jangan khawatir, aku akan melawan mereka mati-matian. Belum tentu aku akan kalah oleh mereka. Kurasa diantara mereka, yang paling lihai adalah Pangeran Ceng Han Houw. Kau jangan ikut-ikut, kau tunggulah saja di sudut sana, berlindung di balik batu itu.”

“Tapi... tapi... aku harus membantumu!”

“Bi Cu, terus terang saja, tingkat kepandaianmu masih jauh sekali selisihnya dengan kepandaian mereka. Sekali maju, berarti engkau menyerahkan nyawa dan mati sia-sia. Apa artinya lagi aku melawan kalau sampai engkau menyerahkan nyawa dan mati konyol? Tidak, Bi Cu. Kau sembunyi di balik batu itu dan aku akan melawan mereka mati-matian.”

“Kalau kau kalah...?”

Sin Liong menggerakkan pundak.
“Yah, yang ada hanya menang atau kalah. Kalau aku kalah dan tewas...”

“Aku akan mati bersamamu, Sin Liong!” seru Bi Cu.

“Aku tidak akan kalah, akan tetapi kau penuhilah permintaanku, jangan kau keluar dari balik batu itu. Maukah kau berjanji?”

Sin Liong memegang kedua pundak dara itu dan karena dia maklum bahwa menghadapi lima orang itu benar-benar merupakan penentuan mati hidupnya dan dia meragu untuk dapat menangkan mereka berlima, ketika memegang kedua pundak dara itu dia merasa seolah-olah dia hendak berpamit untuk berpisah, perpisahan terakhir dan selamanya!

Hal ini menimbulkan keharuan hatinya dan dia lalu menunduk dan mencium dahi yang halus dan basah karena peluh itu. Bi Cu memejamkan matanya, merangkul dan terisak, kemudian dia melepaskan diri dan berlari ke sudut tanah atau batu datar itu, bersembunyi di balik sebuah batu besar yang berada di sudut.

Legalah hati Sin Liong. Kalau dia menang itulah yang dlharapkannya. Akan tetapi andaikata dia kalah dan tewas, dia masih mempunyai harapan mudah-mudahan mereka tidak melihat Bi Cu dan dara itu akan ditinggalkan dan akan dapat lolos dari tempat itu dengan selamat. Dia lalu menanti dan berdiri tegak, sikapnya tenang sekali.

Tidak terlalu lama dia menanti. Ceng Han Houw muncul dengan lompatan terakhir ke atas puncak batu datar itu, muka dan lehernya penuh keringat karena pengejaran tadi dilakukannya dengan sekuat tenaga dan memang pendakian puncak itu amat melelahkan.

Akan tetapi wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia melihat Sin Liong berada di situ. Tadinya dia sudah khawatir pemuda itu dapat meloloskan diri. Dekat di belakangnya muncul pula Kim Hong Liu-nio, wanita yang masih tetap nampak muda dan cantik sekali itu. Kayu papan berbentuk salib masih ada juga di punggungnya. Setelah kematian Lee Siang, pria pertama yang dicintanya, dia memakai lagi papan itu untuk membasmi keluarga Cia, Yap dan Tio, terutama keluarga Cin-ling-pai, bukan hanya untuk membalas musuh-musuh gurunya sekarang, melainkan juga untuk membalas kematian kekasihnya itu.

Kemudian muncul pula tiga orang pembantu Han Houw itu, ialah Lam-hai Sam-lo yang kini hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun, karena orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, yaitu Hek-liong-ong Cu Bi Kun, telah dibunuh oleh Han Houw sendiri ketika pangeran ini hendak “melindungi” Sin Liong.

Mereka berlima berdiri berhadapan dengan Sin Liong, seperti lima ekor harimau yang menghadapi seekor kelinci yang sudah tidak dapat melarikan diri lagi. Han Houw tertawa.

“Ha-ha-ha-ha! Liong-te, tak kau sangka, ya? Engkau terjebak di tempat ini, sama sekali tidak ada jalan keluar!”

Pangeran itu memandang ke sekelilingnya, kemudian kepada Sin Liong lagi dengan wajah berseri membayangkan kemenangan.

“Pangeran, engkau dahulu yang minta kepadaku untuk menjadi saudara angkat bahkan sampai sekarangpun engkau masih menyebutku adik Liong. Akan tetapi sekarang engkau mengejar-ngejarku, selalu menggangguku, bahkan menghendaki nyawaku. Apa artinya semua ini?”

Pertanyaan ini diajukan oleh Sin Liong karena memang dia penasaran, bukan dengan maksud untuk minta dikasihani.

Mendengar pertanyaan ini, kembali pangeran itu tertawa. Agaknya dia tidak ingin cepat-cepat menyerang Sin Liong, tidak ingin cepat-cepat menghabisi korbannya itu, seperti seekor kucing hendak mempermainkan dulu sang tikus sebelum diterkam, untuk memuaskan hatinya. Dia sudah begitu pasti bahwa sekali ini pemuda yang merupakan lawan amat tangguhnya itu tidak akan dapat lolos lagi. Dia sendiri, biarpun belum tentu kalah oleh Sin Liong, namun mungkin mengalami kesukaran merobohkan adik angkatnya itu, apalagi kalau Sin Liong dibantu oleh orang pandai. Akan tetapi kini disitu terdapat sucinya, dua orang dari Lam-hai Sam-lo yang pandai, dan seorang panglimanya yang cukup tangguh.

Sin Liong tak dapat lari ke mana-mana lagi, karena puncak itu ternyata merupakan jalan buntu! Dan pembantu Sin Liong yang pandai semalam itu agaknya kini sudah tidak ada lagi.

“Sin Liong, dua pertanyaanmu itu sudah demikian jelas, perlukah kujelaskan lagi? Akan tetapi biarlah, agar jangan sampai engkau mati penasaran sehingga arwahmu menjadi setan, dangarkan baik-baik. Aku mengangkatmu menjadi adik adalah karena aku tertarik melihat keberanianmu, tertarik terutama sekali melihat ilmu silatmu sehingga aku ingin sekali mempelajarinya. Dalam hal ini aku berhasil, bahkan aku mewarisi ilmu-ilmu dari suhu yang lebih ampuh daripada ilmu-ilmu yang kau kuasai. Kemudian, mengapa aku mengejar-ngejarmu dan hendak membunuhmu? Jelas pula! Engkau adalah putera dari Cia Bun Houw, cucu dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah cukup bagiku untuk menangkap atau membunuhmu karena engkau adalah keturunan pemberontak yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Kemudian, engkau menjadi penghalang bagiku untuk mencapai gelar jagoan nomor satu di dunia dan gelar Pendekar Lembah Naga. Oleh karena itulah maka engkau harus mati, Sin Liong. Dan dalam persoalan ke dua inipun aku berhasil, karena sekarang ini engkau sudah tersudut dan tidak akan mampu lari lagi! Ha-ha-ha!”

“MANUSIA she Cia, aku sudah menyiapkan hio untuk menyembahyangi arwahmu!” terdangar Kim Hong Liu-nio berkata halus, namun di dalam suaranya itu terkandung kekejaman yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma.

“Bocah setan, engkau harus membayar nyawa saudara kami Hek-liong-ong!” terdengar Phang Tek orang pertama dari Lam-hai Sam-lo berkata, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun yang tetap bertelanjang tubuh bagian atas itu menyeringai saja.

Mendengar ini, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang kepada Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja. Tahulah dia bahwa pangeran itu telah bertindak curang, mengabarkan kepada kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu bahwa dialah yang membunuh Hek-liong-ong, padahal jelas bahwa pembunuhnya adalah pangeran itu sendiri.

Akan tetapi, dia tahu bahwa membantahpun tidak akan ada gunanya. Dua orang kakek itu tentu lebih percaya kepada sang pangeran daripada kepadanya, maka diapun diam saja dan hanya sepasang matanya makin mencorong penuh kegeraman.

“Cia Sin Liong, aku harus menangkapmu sebagai pemberontak yang buron!” panglima yang bertubuh tinggi besar itu membentak pula.

Pada saat itu terdengar sedikit suara di balik batu besar dan semua mata ditujukan ke sana. Kiranya Bi Cu yang tadinya bersembunyi tanpa bergerak, mendengar semua ucapan itu menjadi sedemikian kagetnya sehingga tak tertahankan lagi dia bergerak untuk mengintai.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: