***

***

Ads

Rabu, 05 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 191

Pangeran Ceng Han Houw hanya mengangguk-angguk saja sambil tersenyum. Akan tetapi Sin Liong yang mengenal senyum itu, senyum yang mempunyai daya pikat dan daya tarik yang banyak menjatuhkan hati wanita, dan dia tahu pula orang macam apa adanya kakak angkatnya yang tampan ini, pemikat dan pemuda mata keranjang yang tentu akan merusak hati wanita-wanita yang jatuh hati kepadanya, sudah melangkah maju dan memegang tangan dua orang adiknya.

“Lan-moi dan Lin-moi, hayo kita pergi sekarang dari sini!” Dan dia lalu menarik mereka bangkit.

“Akan tetapi, Liong-ko... pangeran telah memberi kereta itu kepada kami...”

Kui Lan membantah karena merasa tidak enak kalau harus meninggalkan kereta pemberian itu begitu saja!

“Sudahlah, mari kita pergi... ayahmu menanti-nanti kalian,” kata pula Sin Liong dan dia menarik dua orang adik tirinya itu cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi kepada Han Houw yang hanya memandang sambil tersenyum lebar.

Setelah tiga orang itu lenyap di balik pohon-pohon, sang pangeran lalu masuk ke dalam kereta dan memerintahkan orang-orangnya untuk membawanya kembali ke istana. Seorang pengawal menunggangi kuda pangeran itu dan mengawal di belakang kereta yang dijalankan dengan cepat menuju ke utara.

Sementara itu, sambil berjalan menuju ke dusun tempat tinggal keluarga Kui, Sin Liong bertanya apa yang telah terjadi dengan kedua orang dara kembar itu. Mereka itu secara bergilir lalu bercerita tentang pengalaman mereka. Betapa mereka berdua melarikan diri ketika ayahnya menerima pinangan pangeran dan hendak dijadikan selir pangeran itu.

“Kami melarikan diri ke selatan, tadinya hendak mencarimu, Liong-koko, akan tetapi tidak berhasil. Kami terlunta-lunta dan hampir celaka, tapi ditolong oleh Ciang-piauwsu di Su-couw.”

Dan selanjutnya Kui Lin menceritakan tentang keadaan mereka selama berbulan-bulan tinggal di Su-couw, sampai kemudian muncul Kwan Siong Bu secara tidak disangka di Su-couw dan mengajak mereka pulang ke dusun Pek-jun.

“Tidak disangka, Kwan Siong Bu itu seorang manusia yang berhati keji,” Kui Lin berkata dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengingat betapa dahulu dia merasa tertarik kepada kakak misan ini yang disangka mencintainya. “Kiranya dia telah menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw dan dia menyerahkan kita kepada pangeran itu!”

Kini Kui Lan yang bercerita tentang pengalaman mereka sehingga mereka terjatuh ke tangan Pangeran Ceng Han Houw dan mengalami siksaan tidak diberi makan minum dan betapa mereka dibujuk-bujuk oleh sang pangeran untuk suka menjadi selir-selirnya.

Sin Liong mengepal tinjunya.
“Hemm, memang sejak dahulu Siong Bu mempunyai watak yang kurang baik! Akan tetapi pangeran itu... setelah apa yang dia lakukan terhadap kalian, mengapa tadi kulihat kalian bersikap demikian hormat dan bahkan berterima kasih kepadanya?”






Ucapan terakhir ini terdengar penuh rasa penasaran. Pangeran itu telah bersikap buruk, tidak saja terhadap dirinya, bahkan telah menyiksa dua orang adiknya ini, menawan mereka, membuat mereka kelaparan bahkan digoda secara hebat agar mereka itu menderita dan mau menyerahkan diri akan tetapi dua orang dara ini malah menghormatinya dan berterima kasih!

“Ah, engkau tidak tahu, Liong-ko! Pangeran itu ternyata baik sekali dan semua perlakuan yang dia perbuat di istana terhadap kami itu hanyalah ujian belaka!” Kui Lin berseru.

“Hemm... ujian bagaimana maksudmu?”

“Begini, Liong-ko,” kata Kui Lan. “Baru kemarin pangeran itu membebaskan kami dari belenggu, bahkan membawa obat untuk mengobati luka-luka kecil di kaki dan tangan kami karena belenggu itu, membawakan makanan dan minuman, lalu dia minta maaf kepada kami, menyatakan bahwa semua itu hanya merupakan ujian belaka darinya untuk mengetahui watak dan sifat kami. Katanya, sebagai adik-adikmu, kami berdua haruslah merupakan dua orang wanita yang gagah dan tidak menyerah terhadap bujukan dan siksaan, maka dia sengaja menguji kami dan kami lulus! Dia menyatakan kekagumannya dan memberi kami pakaian, lalu mengantar kami dengan kereta...”

“Sudahlah, kalian tidak tahu betapa jahat sesungguhnya dia itu! Yang penting, kalian sudah terbebas, maka kita harus cepat pulang, ayah kalian amat membutuhkan kalian berdua...”

“Ayah? Ah, dia hendak menjerumuskan kami!” kata Kui Lan.

“Apa yang terjadi dengan ayah?” tanya Kui Lin.

“Terjadi banyak sekali hal dalam keluarga kalian semenjak kalian ditangkap oleh pangeran. Banyak sekali hal! Pertama-tama, harap kalian tidak kaget, menurut apa yang kudengar dari ayahmu, Siong Bu dan Beng Sin adalah saudara-saudara tiri kalian, seayah berlainan ibu.”

“Ahhh!”

“Ihh...?”

“Dan sekarang Siong Bu telah tewas, terbunuh oleh Beng Sin sendiri.”

Dua orang dara itu melongo, mata mereka terbelalak memandang Sin Liong.

“Dan... dan... ayah kalian sakit berat... aku tak dapat menceritakan, baik kalian lihat sendiri.”

Dua orang dara kembar itu betapapun juga tentu saja menjadi terkejut bukan main mendengar bahwa ayah mereka sakit berat. Memang perbuatan ayah mereka amat menyakitkan hati mereka, akan tetapi betapapun juga rasa kasihan dan sayang dalam hati mereka terhadap ayah kandung masih ada, maka kini mereka segera mempercepat jalan mereka, setengah berlari-lari menuju ke dusun Pek-jun.

Kalau di waktu malamnya rumah kosong itu nampak menyeramkan sekali, kini di waktu siang tempat itu nampak amat menyedihkan. Melihat keadaan rumah mereka, begitu tiba di halaman Lan Lan dan Lin Lin tertegun, lalu mereka berlari-lari memasuki rumah kosong itu. Mereka makin terkejut dan khawatir sekali ketika melihat bahwa keadaan dalam rumah itupun sama saja, kosong tidak ada secuwilpun perabot rumah yang dulu amat mewah dan lengkap!

“Apa yang telah terjadi?” teriak Kui Lan.

“Dimana ayah?”

Kui Lin berseru. Tiba-tiba mereka terkejut mendengar suara tangis orang. Cepat mereka berlari ke kamar ayah mereka, mendorong pintu dan keduanya berdiri dengan muka pucat sekali, memandang kepada ayah mereka yang berpakaian seperti jembel itu menangis tersedu-sedu di atas lantai kamar yang kosong itu.

“Ayaaahhh...!”

Jerit ini keluar berbareng dari dua mulut dara kembar itu dan mereka lalu menubruk ayah mereka. Kui Hok Boan mengangkat muka dan melihat dua orang anaknya, tangisnya makin menghebat. Dia merangkul dua orang anaknya itu sambil menangis.

“Ya Tuhan... Lan Lan dan Lin Lin... kalian hidup lagi...? Ahh... ampun... ampunkan ayahmu ini... ampunkan ayahmu ini...!”

Dan orang tua itu lalu terkulai lemas dan roboh pingsan, pertama karena memang tubuhnya tidak terawat selama beberapa lama ini, dan keduanya karena batinnya terguncang melihat dua orang puterinya.

Sin Liong lalu membantu Hok Boan dengan pengerahan sin-kang sehingga orang tua itu siuman kembali. Agaknya pertemuan dengan dua orang puterinya membuat dia sadar kembali dan menangislah orang tua ini.

Kemudian, Lan Lan dan Lin Lin mencari keterangan kepada para tetangga dan berceritalah para tetangga bahwa setelah menguburkan jenazah Siong Bu, Kui Hok Boan menjadi berubah ingatannya. Dia membagi-bagikan seluruh barangnya kepada para tetangga dan siapa saja yang mau sampai rumah itu kosong sama sekali. Kini, para tetangga yang baik hati mengembalikan barang-barang yang pernah diterimanya dari Kui Hok Boan.

Akan tetapi, atas usul Sin Liong, dua orang dara itu hanya menerima kembali barang-barang berharga dan uang, dan meninggalkan atau memberikan semua perabot-perabot rumah kepada para te¬tangga, kemudian pemuda itu mengajak mereka berunding.

“Sebaiknya, kalian jangan tetap ting¬gal di tempat ini,” katanya. “Karena aku masih belum yakin benar bahwa Ceng Han Houw akan memegang janji dan tidak akan mengganggu kalian. Sebaiknya kalian membawa ayah kalian pergi mengungsi dari tempat ini.”

“Kemana kami harus pergi...?” Kui Lan bertanya khawatir.

“Menurut penuturan kalian tadi, Ciang-piauwsu di Su-couw itu adalah orang yang baik sekali,” kata Sin Liong. “Bagaimana kalau kalian membawa ayah kesana? Dengan uang dan benda-benda berharga yang kalian bawa, ayah kalian memiliki modal yang cukup besar untuk memulai dengan kehidupan baru disana.”

Setelah dibujuk oleh Sin Liong, akhirnya dua orang adik kembar itu setuju dan mereka lalu membawa ayah mereka yang kini keadaannya seperti seorang manusia tanpa semangat itu untuk me¬larikan diri ke selatan.

Sin Liong merasa tidak tega kepada dua orang adik tirinya itu, maka diapun lalu mengawal sampai mereka tiba di Su-couw. Dan, tepat se¬perti dugaan Sin Liong, Ciang-piauwsu menerima dua orang dara kembar itu dengan riang gembira. Dia dan isterinya memang sudah menganggap Lan Lan dan Lin Lin sebagai anak mereka sendiri, maka tentu saja mereka menerima dua orang dara kembar itu dengan gembira dan keluarga Ciang-piauwsu ini bahkan menerima Kui Hok Boan sebagai saudara angkat. Setelah melihat betapa dua orang adik tirinya memperoleh tempat yang aman, Sin Liong lalu berpamit dan mulai¬lah dia pergi mencari Bi Cu.

**** 191 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: