***

***

Ads

Kamis, 09 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 113

Di sebuah rumah besar yang sederhana di kota Leng-kok, terdapat suatu perayaan pesta pernikahan yang cukup sederhana, namun amat meriah karena banyaknya tamu yang berdatangan. Tidaklah mengherankan kalau yang datang banyak terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahkan wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar, karena yang punya kerja adalah seorang pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw, seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan.

Pendekar itu bukan lain adalah Yap Kun Liong. Biarpun pendekar ini tidak pernah menonjolkan diri, tidak pernah memperlihatkan kepandaian silatnya yang amat tinggi kalau keadaaan tidak memaksanya, namun setiap orang mengenal belaka siapa adanya pendekar sakti Yap Kun Liong.

Dalam cerita Petualang Asmara dan Dewi Maut, kita telah cukup lama berkenalan dengan Yap Kun Liong, mengikuti riwayat hidupnya yang penuh suka duka seperti juga riwayat hidup setiap manusia! Akhirnya, dengan berkah dan restu dari mendiang Cia Keng Hong, pendekar ini berani menempuh hidup berdua bersama wanita yang dikasihinya, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai itu, Cia Giok Keng.

Mereka hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta, dua orang yang keadaannya tidak jauh bedanya. Yap Kun Liong adalah seorang duda, ditinggal mati isterinya, sedangkan Cia Giok Keng adalah seorang janda pula, ditinggal mati suaminya dan keadaan kematian isteri dan suami merekapun sama, yaitu dibunuh orang.

Biarpun Yap Kun Liong tidak mendapatkan anak dari isterinya yang terbunuh, yaitu Pek Hong Ing, akan tetapi dia mempunyai seorang puteri dari wanita lain sebelum dia menikah dengan Pek Hong Ing, yaitu Yap Mei Lan yang lahir dari ibunya yang bernama Liem Hwi Sian (baca Petualang Asmara). Adapun Cia Giok Keng ditinggal mati suaminya dengan dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Lie Seng, sedangkan yang ke dua adalah Lie Ciauw Si.

Pesta pernikahan siapakah yang dirayakan di rumah pendekar Yap Kun Liong itu? Pesta pernikahan yang selama ini telah ditunda sampai tiga tahun berhubung dengan perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu pernikahan antara Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng!

Antara dua orang muda yang sudah cukup dewasa ini, bahkan sudah terlalu dewasa, timbul perasaan saling cinta yang mendalam dan Souw Kwi Eng, yaitu janda Tio Sun, yang menyampaikan permohonan saudara kembarnya itu untuk meminang Yap Mei Lan kepada Yap Kun Liong. Karena memang sudah ada kontak antara kedua orang itu, Yap Kun Liong menerimanya dengan baik, akan tetapi terpaksa pesta pernikahan harus diundur sampai selesai perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu selama tiga tahun.

Sepasang pengantin itu memang sudah agak kasip. Usia Souw Kwi Beng sudah tiga puluh tiga tahun, sedangkan usia Yap Mei Lan sudah dua puluh sembilan tahun! Akan tetapi, cinta tidak mengenal usia, dan bahkan dalam usia sedemikian itu keduanya sudah cukup matang, sudah hilang sifat kekanak-kanakan mereka lagi.

Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun dia masih nampak gagah dan tampan dalam pakaiannya yang baru ketika dia kelihatan menyambut para tamu dengan wajah berseri gembira.

Hati siapa yang tidak akan gembira menghadapi pesta pernikahan puterinya, untuk pertama kali? Dalam keadaan seperti itu, seorang pria akan merasakan sesuatu yang istimewa, yang memberi tahu kepadanya bahwa dia telah memasuki lapisan usia yang tertentu, yaitu mulai mempunyai mantu dan besar kemungkinan dalam waktu satu atau dua tahun dia akan menjadi kakek, mempunyai cucu!






Melihat pria ini menyambut tamu dengan senyum ramah dan sikap lembut, tentu tidak akan ada yang mengira bahwa dia adalah seorang pendekar yang sukar dicari bandingnya di waktu itu!

Di sampingnya, nampak seorang wanita cantik sekali juga menyambut para tamu dengan ramah. Wanita ini adalah isteri pendekar itu, Cia Giok Keng, yang sebetulnya sudah berusia lima puluh satu tahun, akan tetapi sukar dipercaya kalau dia sudah berusia setengah abad lebih karena melihat wajahnya yang cantik dan bentuk tubuhnya yang masih ramping padat, orang akan menyangka bahwa usianya tentu jauh kurang dari empat puluh tahun.

Biarpun Yap Mei Lan hanya anak tirinya, namun nyonya yang di waktu mudanya merupakan seorang gadis yang berhati baja dan berkepala batu ini menganggapnya sebagai seorang anak sendiri. Terjadi perubahan besar sekali setelah Cia Giok Keng menjadi isteri Yap Kun Liong.

Suami isteri ini amat terkenal. Sang suami adalah pendekar besar di masa itu sedangkan sang isteri juga seorang pendekar wanita, puteri dari kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang ditakuti lawan disegani kawan. Maka, para tamu yang menerima penyambutan mereka semua tersenyum ramah, menghaturkan selamat dan memandang kagum kepada pasangan ini.

Di antara para penyambut yang sibuk membantu fihak tuan rumah yang punya kerja, nampak terutama sekali Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Suami isteri yang berbahagia ini, yang sesungguhnya baru beberapa tahun menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya, tidak kalah terkenalnya dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

Pada waktu itu, Cia Bun Houw sudah berusia tiga puluh enam tahun dan Yap In Hong berusia tiga puluh lima tahun dan keduanya adalah adik-adik kandung dari tuan dan nyonya rumah. Cia Bun Houw adalah adik kandung Cia Giok Keng, sedangkan Yap In Hong adalah adik kandung Yap Kun Liong! Dalam hal ilmu kepandaian silat, kedua orang suami isteri ini bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan isterinya!

Apalagi setelah kedua suami isteri ini berhasil menggabungkan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka telah mencapai tingkat yang amat hebat dalam tenaga peninggalan dari Kok Beng Lama itu. Para tokoh kang-ouw yang datang juga memandang kepada suami isteri muda itu dengan sinar mata kagum.

Selain Cia Bun Houw dan isterinya, masih terdapat pula Souw Kwi Eng, janda Tio Sun yang merupakan adik kembar dari mempelai pria, dan Lie Seng, yaitu putera Cia Giok Keng yang masih sute dari mempelai wanita. Sebagai murid mendiang Kok Beng Lama, tentu saja Lie Seng juga merupakan seorang pemuda yang amat lihai, seperti sucinya yang kini duduk sebagai mempelai wanita.

Pendeknya, yang punya kerja dan yang menikah adalah keluarga pendekar-pendekar yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, tergolong pendekar-pendekar kelas satu! Maka tidaklah mengherankan apabila pesta perayaan itu biarpun sederhana namun menjadi meriah dengan hadirnya tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan bahkan wakil-wakil dari partai-partai persilatan yang besar.

Hanya ada satu hal yang merupakan ganjalan di dalam hati keluarga itu, terutama dalam hati Cia Giok Keng, yaitu tidak hadirnya Lie Ciauw Si. Seperti telah diceritakan di bagian depan dara ini meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi menyusul pamannya, Cia Bun Houw yang kepergiannya mendukakan hati kong-kongnya. Dan semenjak dara itu pergi, sampai sekian lamanya belum juga kembali dan tidak diketahui ke mana perginya. Inilah yang merupakan ganjalan di hati keluarga itu.

Para tamu mulai memenuhi ruangan tamu yang dihiasi dengan bunga-bunga, kertas dan kain beraneka warna, sebagian besar adalah warna merah yang diutamakan, dan meja-meja mulai penuh dikelilingi tamu yang semua memperlihatkan senyum dan wajah berseri seperti biasa nampak dalam suatu pesta pernikahan. Suasana gembira mempengaruhi semua orang dan hampir semua tamu membicarakan keluarga tuan rumah, dan memuji ketampanan mempelai pria yang berdarah campuran barat itu.

Kini tamu yang berdatangan mulai berkurang dan ruangan itu sudah hampir penuh. Tiba-tiba Souw Kwi Eng yang sedang sibuk mengurus dan mengepalai para pelayan itu menahan seruannya, dan matanya yang bersinar tajam dan agak kebiruan itu terbelalak memandang ke depan, ke arah seorang tamu tua yang diiringkan dua orang lagi, dan wajah nyonya muda ini menjadi marah, matanya berkilat-kilat tanda bahwa hatinya menjadi panas dan marah sekali.

Melihat keadaan nyonya janda ini, Lie Seng cepat memandang dan terkejutlah dia ketika mengenal siapa orangnya yang datang itu. Pantas nyonya janda Tio Sun itu kelihatan marah karena yang muncul sebagai tamu, diiringkan oleh dua orang pembantunya itu, bukan lain adalah seorang kakek yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi semua tambalannya terbuat dari kain baru, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih, bertubuh pendek kurus dan mukanya sempit kaya muka tikus, kakek yang bukan lain adalah Hwa-i Sin-kai, ketua dari Hwa-i Kai-pang! Kakek yang dituduh sebagai pembunuh suami nyonya janda ini!

Betapa beraninya Hwa-i Sin-kai datang ke sini, pikir Lie Seng yang juga memandang penuh perhatian ke arah ketua Hwa-i Kai-pang yang diikuti oleh dua orang kakek tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat dua itu.

“Bedebah... kubunuh dia...” desis Souw Kwi Eng, akan tetapi Lie Seng cepat menyentuh lengan janda muda ini.

“Enci... harap tenang dan sabarlah,” bisiknya. “Serahkan saja kepada ibu dan ayah sebagai tuan rumah, tidak baik kalau kita membikin kacau pada hari baik ini. Ingat, hari ini adalah hari pernikahan saudaramu, yaitu suami dari suciku.”

Souw Kwi Eng mengangguk dan menggunakan punggung lengan baju untuk menghapus dua titik air mata dengan cepat, kemudian menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, sungguhpun perhatiannya tak pernah lepas dari kakek pengemis yang disambut oleh Yap Kun Liong dan isterinya.

Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng menyambut dengan wajah berseri dan mulut tersenyum ramah seperti ketika menyambut para tamu lainnya, akan tetapi mereka saling bertukar pandang dengan cepat dan sebagai suami isteri yang saling mencinta, yang seolah-olah mempunyai hubungan yang lebih mesra dan lebih dekat daripada pandang mata dan kata-kata biasa, mereka telah saling mengerti dan keduanya merasa heran akan kunjungan ketua perkumpulan pengemis ini.

Mereka telah mendengar penuturan Cia Bun Houw, bahkan penuturan mantu mereka tentang ketua pengemis ini yang disangka adalah pembunuh dari Tio Sun. Mengapa sekarang kakek ini berani datang?

Akan tetapi, Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan juga tajam pandangannya. Melihat pandang mata dan sikap pengemis tua itu, Yap Kung Liong sudah mengerti bahwa kedatangan kakek ini bukan semata-mata untuk menghadiri perayaan, melainkan mengandung maksud lain yang mendalam. Oleh karena itu, ketika menerima ucapan selamat, dia berbisik,

“Apakah pangcu mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepada kami secara rahasia?”

Kakek pengemis itu tersenyum dan memandang kagum.
“Ah, Yap-taihiap memang hebat, saya akan senang sekali kalau dapat terpenuhi keinginan saya itu.”

“Silakan, pangcu, silakan...!”

Yap Kun Liong lalu mendahului tamunya itu, bersama isterinya memasuki ruangan dalam. Dengan isyarat matanya Yap Kun Liong menyuruh isterinya dan Yap In Hong adiknya untuk mewakilinya menyambut tamu, kemudian dia bersama tamunya itu memasuki ruangan dalam. Tak lama kemudian muncul pula Souw Kwi Eng, Lie Seng, dan Cia Bun How. Dua orang kakek pengemis tingkat dua sudah dipersilakan duduk di ruangan tamu, karena kalau mereka dibiarkan ikut masuk, akan terlalu menarik perhatian orang.

Melihat wajah Souw Kwi Eng yang merah dan matanya yang memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepadanya, ketua Hwa-i Kai-pang cepat menjura dan berkata kepada nyonya janda muda itu,

“Percayalah, nyonya muda, kegelisahan dan kedukaanku tidak lebih kecil daripada yang kau derita. Kedatanganku ini untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya.”

“Duduklah, pangcu dan mari kita bicara dengan terbuka,” kata Yap Kun Liong mempersilakan semua orang duduk.

“Saya tidak akan mengganggu terlalu lama karena taihiap sekeluarga sedang sibuk, dan maafkan kedatanganku mengganggu. Memang saya sengaja datang pada saat ini agar tidak menarik perhatian orang. Nah, harap taihiap sekalian suka mendengarkan penuturanku baik-baik.”

Hwa-i Sin-kai lalu mulai menceritakan tentang asal mula sebab permusuhan antara Hwa-i Kai-pang dan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio.

“Seorang anggauta kami, pengemis she Tio yang berada di Hua-lai telah dibunuh oleh wanita iblis itu tanpa sebab, tanpa kesalahan. Oleh karena itu, fihak kami terus membayanginya sampai dia berada di kota raja dan di sana para tokoh perkumpulan kami minta pertanggungan jawabnya karena membunuh seorang anggauta kami tanpa sebab. Wanita iblis itu tidak mempertanggung-jawabkan, bahkan merobohkan beberapa orang di antara kami. Itulah asal mula permusuhan antara kami dengan Kim Hong Liu-nio.”

Lalu dia menceritakan tentang kekalahan berturut-turut dari para pembantunya, dan betapa ketika mereka berhasil mengepung wanita itu di luar kota raja, muncul Panglima Lee Siang yang menyelamatkan wanita itu dan membawanya ke gedungnya.

“Karena wanita itu bersembunyi di gedung Lee-ciangkun, maka saya terpaksa menantangnya. Dan ternyata wanita itu menjawab bahkan menantang agar saya suka datang ke gedung itu pada waktu malam yang ditentukan untuk bertanding. Tentu saja saya penuhi permintaannya itu, dan ketika saya tiba di sana pada malam hari itu, yang muncul bukan wanita iblis itu melainkan Panglima Lee yang segera menyerang saya.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: