***

***

Ads

Kamis, 23 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 057

“Mari silakan duduk makan minum bersama kami!” kata pula guru silat she Yu itu dengan sikap ramah dan gembira, menandakan bahwa mereka itu adalah kenalan-kenalan baiknya.

“Terima kasih, Yu-kauwsu, kami masih harus menyelesaikan urusan penting. Nanti saja kalau sudah selesai urusan kami, kami tergesa-gesa!”

“Ha-ha-ha, kalau begitu biarlah dari sini saja aku menyuguhkan masakan dan arak!”

Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa Yu-kauwsu bersama tiga orang piauwsu yang menjadi temannya itu melempar-lemparkan mangkok yang penuh masakan dan juga seguci arak ke luar jendela, ke arah tiga orang pengemis tua itu!

Han Houw memandang penuh perhatian dan diam-diam juga kagum. Tiga orang kakek itu, benar seperti yang diduga sucinya, adalah tokoh-tokoh yang berkepandalan tinggi. Masing-masing telah menangkap dua buah mangkok masakan yang terbang ke arah mereka, dan kakek pertama malah dapat menerima guci arak dengan sundulan kepalanya sehingga guci itu berdiri tegak di atas kepalanya.

Semua ini mereka lakukan dengan cekatan dan tidak ada arak atau kuah masakan yang tumpah. Sambil tertawa-tawa mereka makan masakan itu dari mangkok begitu saja tanpa sumpit, kemudian mereka melempar-lemparkan mangkok kosong ke dalam jendela. Mangkok-mangkok itu berputaran dan kemudian hinggap di atas meja depan kauwsu itu tanpa menimbulkan banyak suara bising, dan tidak pecah! Demikian pula guci arak setelah araknya mereka teguk bergantian sampai habis.

Tiga orang kakek pengemis itu kelihatan girang sekali karena banyak orang menonton demonstrasi mereka dengan penuh kagum. Nama Hwa-i Kai-pang memang sudah amat terkenal dan di manapun mereka berada, tentu akan terjadi sesuatu yang menarik karena mereka itu rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi.

“Wah, terima kasih, Yu-kauwsu dan sam-wi piauwsu. Dengan suguhan itu, kami tidak perlu lagi minta sumbangan dari para tamu restoran ini, kecuali terhadap seorang tamu yang datang dari tempat jauh.”

Mereka mengusap-usap perut mereka, kemudian melangkah maju menghampiri meja Han Houw!

Pangeran dari utara ini, biarpun masih muda, namun dia telah memiliki kepandaian tinggi, maka pertunjukkan tadi biarpun membuatnya kagum, akan tetapi dianggapnya bukanlah ilmu yang aneh. Sedangkan Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak memperdulikan mereka, dan ketika tiga orang pengemis itu tiba-tiba berhenti melangkah di depan jendela mereka dan mereka bertiga memandang kepadanya dengan mata tidak pernah berkedip, dengan sinar mata yang tajam dan mengandung kemarahan, Kim Hong Liu-nio masih mengambil sikap tidak perduli!

“Toanio, kasihanilah kami tiga orang pengemis tua...” kata yang seorang.

“Kami bertiga mohon dermaan dari toanio...” sambung yang ke dua.

“Semoga Thian memberkahi kebaikan toanio...” sambung pula yang ke tiga.






Melihat sucinya bersikap tak acuh, Han Houw cepat mengeluarkan tiga keping uang perak dan menyerahkan tiga keping uang itu kepada mereka sambil berkata,

“Ini sedikit sumbangan dari kami harap diterima dengan senang.”

Tiga orang kakek pengemis itu menerima tiga keping uang perak itu masing-masing sekeping, akan tetapi mata mereka mendelik dan seorang diantara mereka berkata,

“Kongcu menganggap kami ini orang apa maka memberi sumbangan uang perak?” Dan tiba-tiba mereka melemparkan tiga keping uang perak itu di atas meja depan Han How.

“Cep! Cep! Cep!”

Tiga keping uang perak itu menancap ke dalam papan meja sampai hampir rata dengan permukaan meja. Tiga orang pengemis tua itu mengira bahwa tentu pemuda cilik yang tanpa disengaja telah menghina tiga orang tokoh tingkat lima dari Hwa-i Kai-pang akan menjadi terkejut, setidaknya tentu akan pucat mukanya karena lontaran uang perak itu saja sudah menunjukkan kehebatan mereka. Akan tetapi, tiga orang kakek pengemis itu saling lirik ketika melihat pemuda yang berpakaian mewah itu sama sekali tidak terkejut, bahkan lalu tersenyum!

“Ah, kiranya sam-wi tidak membutuhkan uang perak lagi. Terpaksa kusimpan kembali!”

Setelah berkata demikian, Han Houw menggerakkan tangan kanannya ke arah tiga keping uang perak yang menancap dan berjajar di atas meja itu, menjepit tiga keping uang perak itu diantara jari-jari tangannya, mengerahkan sin-kang dan dengan enak saja dia telah mencabut keluar tiga uang perak itu dan mengantonginya! Kemudian pemuda itu melanjutkan makan tanpa memperdulikan lagi kepada mereka!

“Waspadalah, sute. Di kota raja ini banyak sekali srigala bertopeng domba, dan di depan restoran ini terlalu banyak lalat hijau! Sungguh menjijikkan!” kata Kim Hong Liu-nio.

Merahlah wajah tiga orang kakek itu. Tadi mereka terkejut bukan main menyaksikan betapa anak laki-laki itu begitu mudahnya mencabut uang perak dari atas meja. Maklumlah mereka bahwa anak laki-laki itu lihai sekali. Maka kini mereka tidak lagi mau berpura-pura, dan yang tertua diantara mereka segera berkata.

“Toanio, kami mohon sumbangan untuk menyembahyangi arwah seorang pengemis she Tio di kota Huai-lai sebelah utara yang mati beberapa hari yang lalu. Perkabungan dengan sebatang hio saja masih belum mencukupi!”

Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut. Ah, kiranya pengemis yang dibunuhnya di kota Huai-lai itu juga merupakan anggauta Hwa-i Kai-pang? Akan tetapi mengapa pakaiannya tidak berkembang? Dia tidak tahu bahwa Hwa-i Kai-pang merupakan perkumpulan pengemis yang amat besar kekuasaannya sehingga seluruh pengemis, baik yang berkelompok dalam perkumpulan lain maupun tidak memasuki perkumpulan, semua menganggap Hwa-i Kai-pang sebagai induk perkumpulan yang dapat mereka andalkan untuk membela kaum pengemis, dan sebaliknya Hwa-i Kai-pang juga menganggap seluruh pengemis dari manapun juga sebagai “umat” mereka!

Itulah sebabnya ketika pengemis she Tio yang kebetulan bertemu dengan Kim Hong Liu-nio di Huai-lai dan dibunuh oleh wanita ini, maka hal itu terdengar oleh para anggauta Hwa-i Kai-pang dan tiga orang pengemis tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat lima itu segera melakukan pengejaran dan pengintaian sampai ke kota raja.

Kim Hong Liu-nio maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menghindarkan diri dari bentrokan. Akan tetapi diapun tidak ingin mendapat gangguan, dan tidak ingin pula mengikat permusuhan dengan Hwa-i Kai-pang, maka diambilnya keputusan untuk menghajar tiga orang kakek pengemis ini tanpa membunuh mereka, sekedar memperingatkan mereka agar tidak main-main dengan dia. Diambilnya sekeping uang emas dari dalam saku bajunya, karena ia bermaksud untuk menyumbang sekeping uang emas, sumbangan yang luar biasa besarnya, untuk membuat para pengemis puas dan tidak mengganggunya lagi.

“Pengemis itu sial karena dia she Tio,” katanya. “Akan tetapi kalau kalian hendak berkabung, biarlah aku menyumbang ini!” Dia lalu melemparkan sekeping uang emas tadi ke arah pengemis tertua.

Pengemis itu menyambar kepingan uang emas itu dengan tangannya, lalu dipandangnya uang emas di atas telapak tangannya sambil menyeringai,

“Heh-heh, selembar nyawa dibeli dengan sekeping uang emas! Betapa murahnya engkau menghargai selembar nyawa pengemis, toanio. Tidak, tidak cukup!”

Dan pengemis itu mengepalkan tangan, mengerahkan tenaga lalu mengembalikan uang itu dengan melemparkannya ke atas meja di depan Kim Hong Liu-nio. Terdengar suara berdencing dan kepingan uang emas itu kini telah menjadi gepeng!

Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya.
“Tidak cukup? Apa yang kalian kehendaki, orang-orang yang tamak?” tanyanya, mulai kehilangan kesabarannya.

“Jiwa seorang pengemis memang tidak ada harganya, akan tetapi kiranya pantas untuk ditukar dengan sebatang jari tangan pembunuhnya. Serahkan jari telunjuk atau jari tengahmu dan kami akan pergi tanpa banyak tingkah lagi.”

Tentu saja Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main. Disambarnya uang emas itu dan dia berkata,

“Sekali bicara tidak biasa menarik kembali, sekali menyerahkan sumbangan tidak akan diambil kembali. Terimalah sumbangan ini dan pergi!”

Dan wanita itu melontarkan kepingan emas kepada si pengemis tua yang cepat menyambutnya karena lontaran itu kuat sekali.

“Crottt... ahhh...!”

Pengemis tua itu menyeringai kesakitan ketika telapak tangannya yang menyambut kepingan emas itu ditembusi oleh kepingan emas yang sudah gepeng itu sehingga menembus ke punggung tangannya! Darah mengalir dari telapak dan punggung tangan, sedangkan kepingan uang emas itu terjatuh ke atas tanah!

Dapat dibayangkan betapa nyerinya tangan ditembusi benda seperti itu, akan tetapi pengemis tua itu menahan rasa nyerinya dan memandang kepada Kim Hong Liu-nio dengan melotot. Dua orang pengemis yang lainnya menjadi terkejut dan marah. Mereka lalu menggerakkan tongkat mereka hendak menyerang ke dalam.

Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang setelah melontarkan uang emas tadi lalu mengambil tim ikan emas dan makan ikan itu dengan enaknya, ketika melihat dua orang pengemis lainnya menggerakkan tongkat, dia sudah menoleh dan mulutnya menghardik,

“Tidak lekas pergi?”

Ketika dia membentak itu, dari mulutnya yang kecil meluncur beberapa batang duri ikan emas yang menyambar dengan luar biasa cepatnya ke arah dua orang pengemis yang sedang menggerakkan tongkatnya itu. Dua orang kakek itu terkejut bukan main, dan cepat berusaha untuk mengelak.

Akan tetapi, jarak antara mereka dan wanita itu terlalu dekat, dan duri-duri itu merupakan benda ringan yang bergerak cepat bukan main tanpa suara, maka yang nampak hanya sinar berkelebat dan tahu-tahu mereka berdua merasakan wajah mereka sakit bukan main seperti ditusuk jarum, terutama di tepi mata mereka. Ketika mereka meraba, ternyata bahwa beberapa batang duri ikan telah menancap sampai dalam di bawah bola mata, di pipi dan di hidung mereka sehingga terasa nyeri dan tidak dapat dicabut karena sudah masuk semua!

Kedua orang kakek itu menggunakan tangan menutupi mata kiri mereka dan darah mulai menetes keluar dari beberapa tempat di wajah mereka yang terkena duri ikan.

Melihat ini, kakek yang tangannya ditembus uang emas itu maklum bahwa wanita itu terlalu lihai bagi mereka. Sejenak dia memandang tajam, kemudian menghela napas, memungut uang emas yang menembus lengannya tadi, memasukkannya di dalam saku, kemudian membalikkan tubuh dan menyentuh tangan seorang temannya dengan tongkat.

Teman ini memegang tongkat itu, lalu dia menyentuh teman di belakangnya dengan tongkat. Kakek ke tiga juga memegang tongkat itu dan dengan saling tuntun karena yang dua orang tidak dapat membuka mata, mereka meninggalkan tempat itu dengan berjalan terseok-seok seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan mereka.

Tidak banyak orang menyaksikan peristiwa aneh dan hebat ini. Akan tetapi, guru silat dan tiga orang piauwsu yang tadi menyapa kakek-kakek pengemis itu dapat melihat karena selain kebetulan mereka juga duduk di luar, juga mereka sejak tadi memperhatikan tiga orang kakek itu dan agaknya mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat maka mereka dapat menyaksikan semua itu.

Setelah tiga orang kakek pengemis itu tidak nampak lagi, laki-laki yang berpakaian seperti guru silat itu cepat bangkit dan menghampiri meja Han Houw dan Kim Hong Liu-nio. Sute dan suci ini bersiap-siap akan tetapi bersikap tenang-tenang saja.

“Lihiap, kepandaian lihiap sungguh amat tinggi. Akan tetapi sebaiknya lihiap cepat meninggalkan tempat ini karena mereka tadi adalah tokoh-tokoh ke lima dari Hwa-i Kai-pang dan setelah peristiwa tadi, tentu tokoh-tokoh yang jauh lebih tinggi tingkatnya akan datang. Jumlah mereka banyak sekali, mereka berpengaruh besar dan dipimpin oleh orang-orang yang amat pandai, maka kalau lihiap tidak segera pergi, tentu akan menghadapi bencana!”

Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berhati keras, pemberani, dan tidak biasa dinasihati orang, mendengar kata-kata orang itu, dia mengangkat muka memandang. Orang itu terkejut bukan main menyaksikan wajah cantik itu dingin bukan main dan sepasang mata wanita itu seperti ujung dua batang pedang yang hendak menusuknya, sehingga dia mundur selangkah.

“Kami datang atau pergi sesuka hati kami, tidak ada setanpun yang boleh memaksa atau mencegah kami!”

“Ah, maaf...!” Guru silat itu menjadi merah mukanya.

“Kulihat tadi engkau adalah sahabat-sahabat tiga orang kakek pengemis itu, mengapa sekarang tiba-tiba saja memberi nasihat kepada kami?”

Kim Hong Liu-nio bertanya dengan suara yang nadanya menegur atau sebagai alasan akan sikapnya yang ketus tadi.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: