***

***

Ads

Rabu, 15 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 050

Melihat monyet betina yang disayangnya itu roboh tertusuk pedang, Sin Liong menggereng dan menyerang lagi, dibantu oleh monyet-monyet lain, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin menjadi ngeri melihat datangnya banyak monyet. Mereka menjadi ngeri dan ketakutan, tidak berani ikut membantu melainkan mundur dan saling peluk dengan tubuh menggigil di bawah pohon.

“Lan Lan...! Lin Lin...!”

Dua orang anak perempuan itu terkejut dan wajah mereka berseri, air mata mereka seketika mengalir turun. Itulah suara ayah mereka! Dan memang benar. Tak jauh dari situ, Kui Hok Boan bersama belasan orang anak buahnya datang mencari anak-anaknya itu, setelah semalam suntuk mereka mencari tanpa hasil. Suara Hok Boan sampai menjadi parau karena semalam suntuk dia terus-menerus memanggil.

“Ayahhhh...!” Lan Lan dan Lin Lin menjerit-jerit. “Ayah, cepat ke sinilah...!”

Kakek Ciam terkejut bukan main. Tadinya timbul hati tidak tega untuk membunuhi semua monyet itu, dan mendengar suara dua orang anak itu yang memanggil ayah mereka, hatinya menjadi gelisah. Kalau Kui Hok Boan datang bersama orang-orangnya dan di sini masih ada monyet-monyet ini yang mengeroyoknya dengan nekat dan buas, dia dapat celaka!

Dia mengeluh, karena usahanya untuk membalas dendam dengan menculik dan memisahkan dua orang anak perempuan itu dari samping Hok Boan ternyata gagal. Dia lalu mengeluh dan meloncat ke belakang, cepat dia melarikan diri sambil membawa pedangnya, menyusup di antara semak-semak belukar!

Sin Liong dan monyet-monyet lain mengejar, meninggalkan Lan Lan dan Lin Lin. Monyet betina tua itu merintih dan melihat ini, Lan Lan dan Lin Lin cepat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh monyet betina itu dengan perasaan kasihan. Mereka tadi melihat betapa monyet ini membantu Sin Liong dan terkena tusukan pedang. Monyet itu bergerak perlahan dan merintih sambil memegangi lambungnya yang tertembus pedang dan mengucurkan darah.

“Lan-ji! Lin-ji!”

Hok Boan berteriak dan meloncat ke tempat itu dengan pedang di tangan. Melihat kedua orang anaknya berlutut dekat seekor monyet besar, dia cepat menendang.

“Desss...!”

Tubuh monyet betina yang sudah terluka parah itu terlempar, terbanting dan nyawanyapun melayang.

“Ayahh...! Kenapa kau menendang dia...?” Lan Lan menjerit.

“Ayah, monyet itu tewas karena menolong kami...!” Lin Lin juga berteriak.






Hok Boan yang masih marah karena kegelisahan yang hampir membuatnya gila selama semalam itu terbelalak.

“Apa...? Apa maksudmu...?”

Akan tetapi saking girangnya melihat ayah mereka telah datang, dua orang anak itu menubruk ayah mereka sambil menangis. Hok Boan memeluk kedua orang anaknya, hatinya juga penuh rasa gembira yang amat besar.

“Lan-ji, Lin-ji, ceritakan, apa yang terjadi...?” tanyanya dan pada saat itu muncul pula Siong Bu, Beng Sin, dan para anak buah Kui Hok Boan yang ikut mencari sampai semalam suntuk dan dilanjutkan pagi ini.

Siong Bu dan Beng Sin juga merasa girang sekali melihat betapa dua orang sumoi mereka itu telah ditemukan dalam keadaan selamat.

“Ayah, kami diculik kakek brewok... sampai disini... muncul... Liong-ko (kakak Liong) yang menyerang penculik itu...” kata Lan Lan yang semenjak kematian ibunya dan tahu bahwa Sin Liong adalah putera ibunya, tidak ragu-ragu lagi menyebut Sin Liong dengan sebutan koko (kakak).

“Liong-koko kalah dan dibantu oleh monyet-monyet, akan tetapi monyet tua itu... dia terkena tusukan pedang si penculik...” sambung Lin Lin.

“Sin Liong...?”

Hok Boan terkejut bukan main dan juga merasa girang mendengar bahwa Sin Liong yang tadinya diculik oleh wanita iblis itu ternyata masih hidup, bahkan telah menolong kedua orang anaknya. Dan lebih terkejut lagi hatinya mendengar bahwa monyet itu yang ditendangnya tadi, ternyata adalah seekor monyet yang telah membantu Sin Liong pula melawan penculik itu.

“Sekarang dimana Sin Liong?” tanya Hok Boan berusaha menutupi rasa tidak enak hatinya karena dia telah menendang monyet tua yang telah terluka tadi, monyet yang telah menolong anak-anaknya.

“Tadi dia mengejar si penculik brewok, agaknya bersama monyet-monyet itu,” kata Lan Lan.

“Itu dia...!”

tiba-tiba Beng Sin berseru sambil menuding. Semua orang menengok dan benar saja, tanpa ada yang melihat kedatangannya, kini tahu-tahu Sin Liong sudah berada disitu, berlutut dan memeluki tubuh monyet betina yang telah tewas itu.

“Sin Liong...!” Siong Bu berseru.

“Sin Liong...!” Hok Boan juga memanggil.

“Liong-koko...!” Lan Lan dan Lin Lin berseru dan mereka semua menghampiri anak itu.

Kui Hok Boan memandang penuh perhatian dan diam-diam dia merasa kasihan juga kepada anak ini. Pakaiannya compang-camping, mukanya matang biru bekas pukulan penculik, dan kini biarpun anak itu tidak menangis sesenggukan, akan tetapi dia memeluk tubuh monyet itu, jari-jari tangannya mengusap dan membelai kepala dan muka yang penuh bulu, matanya basah dengan air mata.

Siong Bu, Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin berlutut di sekeliling Sin Liong. Lan Lan menyentuh lengan Sin Liong dan berkata lirih,

“Liong-ko, dia suda mati...”

Tangan yang mengusap-usap kepala monyet itu berhenti, dua titik air mata menggelinding turun disusul oleh dua titik lagi dan terdengar berkata lirih, seperti bisikan kepada diri sendiri,

“Dia... dia ibuku...”

Kui Hok Boan yang sudah menghampiri tempat itu, terkejut mendengar kata-kata ini.
“Sin Liong, ibumu telah...”

Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena dia teringat akan isterinya yang tercinta itu, maka lehernya seperti dicekik rasanya.

Sin Liong menggangguk.
“Saya mengerti, ibu kandung saya telah tewas oleh iblis betina itu, akan tetapi dia ini... dialah yang menyusui dan merawat saya ketika saya masih kecil...” Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap dua titik air matanya tadi.

“Kemana larinya penculik itu, Sin Liong? Biar aku mengejar dan menghajarnya!” Hok Boan teringat kepada penculik itu.

“Dia telah pergi jauh tidak dapat dikejar lagi..., sekarang saya hendak mengubur dia...”

Sin Liong lalu menggunakan tangannya untuk membongkar batu-batu dan tanah, agaknya dengan kedua tangannya, tanpa minta bantuan siapapun, anak ini hendak menggali sebuah lubang di tanah untuk mengubur bangkai monyet itu!

Melihat ini, Hok Boan cepat menyuruh anak buahnya untuk membantu Sin Liong, menggali sebuah lubang dan dikuburkanlah bangkai monyet itu oleh Sin Liong. Sebelum menurunkan bangkai monyet itu ke dalam lubang, Sin Liong mencium muka monyet betina itu dan dengan menggigit bibir menahan tangis, anak ini lalu mengubur bangkai itu dan dibantu oleh empat orang anak lain, lubang itu lalu diuruk.

Hok Boan lalu mengajak Sin Liong pulang ke istana tua di Lembah Naga. Sin Liong menurut tanpa banyak cakap. Di sepanjang jalan, Hok Boan hanya mendengarkan dua orang anaknya menceritakan pengalaman mereka ketika diculik, kemudian mendengarkan Lan Lan dan Lin Lin, dibantu pula oleh dua orang anak laki-laki itu, mendesak dan bertanya kepada Sin Liong bagaimana dia dapat lolos dari tangan iblis betina itu.

Hok Boan sendiri tidak banyak bertanya karena hati orang ini masih diliputi rasa menyesal dan duka atas terjadinya peristiwa yang susul menyusul ini, yang menimpa dirinya dan keluarganya. Sama sekali dia tidak ingat lagi betapa tadi dia telah menendang monyet betina yang sudah terluka itu!

Memang begitulah watak seorang yang selalu mementingkan diri sendiri belaka. Yang diperhatikan selalu hanyalah kepahitan-kepahitan yang menimpa dirinya, yang diprihatinkan hanyalah kesusahan yang diderita oleh diri sendiri dan keluarganya. Orang seperti ini sama sekali tidak pernah mau melihat penderitaan orang lain, sehingga hatinya menjadi kejam.

Yang dicari hanya hal-hal yang dapat menyenangkan diri sendiri dan keluarganya, maka dalam mengusahakan kesenangan dan keselamatan bagi diri sendiri dan keluarganya, dia tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, kalau perlu menyusahkan orang lain dengan perbuatan-perbuatannya yang kejam.

Akan tetapi, jelaslah bahwa orang yang selalu mengejar kesenangan untuk diri sendiri itu adalah orang yang hidupnya selalu kecewa dan sengsara. Karena orang demikian itu selalu merasa kasihan kepada diri sendiri, selalu mengeluh, selalu menganggap bahwa di dunia ini dia seoranglah yang paling celaka, paling sengsara, paling patut dikasihani.

Dengan demikian, menghadapi halangan sedikit saja dalam hidup, dia akan merasa sengsara sekali! Patut dikasihani orang seperti itu, karena dia belum mengerti, belum sadar bahwa sesungguhnya dia telah dicengkeram oleh batinnya sendiri, oleh pikirannya sendiri, dikuasai dan dipermainkan oleh nafsu-nafsunya sendiri yang timbul dari permainan pikiran.

Sin Liong tidak mau banyak bercerita. Ketika didesak-desak oleh empat orang anak itu, dia hanya mengatakan, bahwa ketika dia dibawa pergi oleh Kim Hong Liu-nio, di tengah jalan wanita itu dihadang oleh orang-orang Jeng-hwa-pang.

Mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang, muka Kui Hok Boan berubah dan jantungnya berdebar tegang dan takut.

“Jeng-hwa-pang...?” katanya mengulang nama itu dengan suara agak gemetar. “Benarkah Jeng-hwa-pang yang menghadangnya, Sin Liong?”

Dia mendekat dan pertanyaannya itu terdengar lirih, seolah-olah dia merasa takut untuk membicarakan perkumpulan itu dengan suara keras, dan beberapa kali menengok ke kanan dan kiri dengan sikap jerih. Melihat ini, empat orang anak itupun menjadi gelisah.

“Saya tidak tahu pasti, paman...”

“Sin Liong, engkau adalah anak kandung istriku, maka berarti engkau anakku pula, sungguhpun anak tiri. Aku adalah ayahmu, tidak semestinya kau menyebut paman.” kata Hok Boan.

Sin Liong menunduk dan tidak menjawab.

“Ayah, siapakah perkumpulan Jeng-hwa-pang itu?” tiba-tiba Lan Lan bertanya kepada ayahnya. Kembali sasterawan itu kelihatan gelisah.

“Sudahlah, nanti saja di rumah kuceritakan. Hayo kita cepat pulang!”

Dia lalu mengajak anak-anak itu dan para anak buahnya untuk mempercepat perjalanan pulang ke Istana Lembah Naga.

Setelah tiba di rumah, barulah Hok Boan kembali bertanya kepada Sin Liong tentang Jeng-hwa-pang. Sebagai seorang yang sudah banyak merantau sebelum dia menetap di Istana Lembah Naga, tentu saja dia sudah mendengar tentang Jeng-hwa-pang, sebuah perkumpulan yang amat ditakuti orang karena perkumpulan itu merupakan perkumpulan orang-orang yang amat kejam dan pandai menggunakan segala macam racun yang mengerikan.

Sin Liong masih pendiam dan tidak banyak bercerita. Dia hanya menceritakan betapa wanita iblis yang menculiknya itu di tengah jalan dikeroyok oleh orang-orang Jeng-hwa-pang, dan betapa dia lalu dilarikan oleh ketua Jeng-hwa-pang, meninggalkan anggauta-anggautanya yang dihajar oleh iblis betina itu.

“Jeng-hwa-pang juga tidak mampu mengalahkan dia?” Hok Boan berkata dengan muka berubah pucat dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan main lihainya wanita itu...!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: