***

***

Ads

Rabu, 15 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 042

Jeng-hwa-pang sekarang jauh berbeda dengan Jeng-hwa-pang belasan tahun yang lalu ketika perkumpulan itu dipimpin oleh Jeng-hwa Sian-jin. Dahulu, perkumpulan itu tidak sehebat sekarang ini, setelah Jeng-hwa Sian-jin meninggal dan perkumpulan itu dipimpin dan dibangun kembali oleh muridnya.

Kalau Jeng-hwa Sian-jin sebagai bekas tokoh-tokoh Pek-lian-kauw selain berilmu silat tinggi juga ahli dalam ilmu sihir, maka muridnya ini yang menuruni kepandalan ilmu silatnya tanpa menuruni ilmu sihirnya, ternyata memiliki keahlian lain yang bahkan melebihi mendiang gurunya, yaitu dalam hal ilmu tentang racun.

Jeng-hwa-pang sendiri mendapatkan namanya dari julukan Jeng-hwa Sian-jin, dan kakek itu dijuluki Jeng-hwa Sian-jin karena dia telah menemukan kembang hijau yang hanya bisa ditemukan orang di sebuah diantara puncak-puncak Pegunungan Himalaya. Kembang hijau ini mengandung racun yang amat hebat, yang boleh dibilang rajanya kembang-kembang beracun.

Akan tetapi, kalau Jeng-hwa Sian-jin mempergunakan khasiat kembang mujijat itu untuk melatih dan memperdalam ilmu sihirnya, sebaliknya muridnya itu mempergunakan kembang hijau itu untuk memperdalam ilmu tentang racun-racun! Maka kini terkenallah perkumpulan Jeng-hwa-pang sebagai perkumpulan orang-orang yang ahli dalam mempergunakan racun sehingga tentu saja amat ditakuti oleh golongan lain.

Akan tetapi, ketika Kaisar Ceng Tung memperoleh kembali tahta kerajaannya yang tadinya diserahkan kepada adiknya ketika dia menjadi tawanan Raja Sabutai (baca cerita Dewi Maut), kaisar ini telah mengerahkan orang-orang pandai, mempergunakan tangan besi untuk menekan dan mengendalikan perkumpulan-perkumpulan golongan hitam yang suka menimbulkan kekacauan.

Oleh karena itu, Jeng-hwa-pang yang termasuk sebagai perkumpulan yang diawasi dan dibatasi gerakannya, lalu mengungsi ke luar tembok besar dan untuk sementara mendirikan sarang di dekat tembok besar di utara.

Ketua Jeng-hwa-pang bernama Gak Song Kam dan karena keahliannya bermain racun, dia dikenal orang sebagai Tok-ong (Raja Racun)! Nama julukannya sebagai Tok-ong ini sama terkenalnya dengan nama Jeng-hwa-pang yang tersohor.

Dahulu, ketika Jeng-hwa-pang masih dipimpin oleh mendiang Jeng-hwa Sian-jin, perkumpulan ini lebih condong mempelajari ilmu-ilmu sihir yang keji dan cabul. Jeng-hwa Sian-jin “ketemu batunya” ketika sedang melaksanakan praktek keji dan cabul itu muncul seorang kakek sakti yang membuatnya tewas dan anak buahnya menyerah dan bertobat.

Kakek sakti itu bukan lain adalah Bun Hoat Tosu (baca cerita Dewi Maut). Untuk sementara perkumpulan itu benar-benar telah bubar. Akan tetapi setelah Gak Song Kam berhasil memperdalam ilmu-ilmunya di Pegunungan Himalaya dan mempelajari ilmu-ilmu tentang racun dari seorang pertapa di sebuah puncak pegunungan itu, dia lalu mengumpulkan kembali bekas anggauta Jeng-hwa-pang dan dia membangun kembali perkumpulan itu.

Akan tetapi, tindakan tangan besi oleh Kaisar Ceng Tung membuat dia terpaksa membawa para anggautanya yang jumlahnya ada seratus orang itu untuk sementara waktu mengungsi ke perbatasan di utara, dekat tembok besar.

Jeng-hwa-pangcu she Gak ini telah menikah dengan seorang wanita she Tio, akan tetapi dia tidak mempunyai keturunan. Isterinya membawa beberapa orang sanak keluarganya yang juga she Tio ketika mengungsi ke utara dan mereka ini ikut hidup senang sebagai keluarga isteri ketua perkumpulan besar, dan di antaranya ada pula yang menjadi anggauta Jeng-hwa-pang






Para anggauta Jeng-hwa-pang semua diberi pelajaran tentang racun oleh ketuanya sehingga mereka rata-rata selain pandai ilmu silat, juga pandai mempergunakan racun untuk mengalahkan lawan.

Mungkin karena mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan nama besar perkumpulan mereka, setelah pindah ke perbatasan di utara, dalam beberapa tahun saja, Jeng-hwa-pang telah dikenal dan ditakuti, malang melintang di perbatasan itu karena mereka merasa terlepas dari jangkauan tangan besi kaisar.

Akan tetapi, pada suatu hari terjadilah malapetaka menimpa keluarga ketua Jeng-hwa-pang, yaitu pada suatu malam ketika ketua Jeng-hwa-pang sedang pergi bersama beberapa orang pembantunya menangkap beberapa ekor ular gurun pasir, muncullah seorang wanita yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio dan wanita ini secara kejam telah membunuh isteri ketua Jeng-hwa-pang dan juga sembilan orang keluarga wanita itu, kesemuanya she Tio!

Tentu saja Jeng-hwa-pang menjadi geger, apalagi ketika para anak buah Jeng-hwa-pang yang mengeroyok dibuat kocar-kacir oleh wanita yang amat lihai itu.

Ketika Gak Song Kam pulang dan mendapatkan isterinya dan sembilan orang keluarga isterinya tewas semua, dengan cara kematian yang aneh, yaitu dahi atau bagian tubuh lain yang berbahaya tertancap oleh sebatang hio yang membara, tentu saja dia menjadi marah sekali.

Akan tetapi segera tersiar berita bahwa wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu telah merajalela, membunuh-bunuhi semua orang she Tio, Yap, dan Cia yang dapat ditemukan di daerah itu, yang tentunya tidak banyak karena yang dicari adalah orang-orang Han, sedangkan daerah itu lebih banyak didiami oleh orang-orang suku bangsa lain.

Tentu saja Gak Song Kam merasa sakit hati dan berusaha untuk mencari wanita itu. Dia merasa menyesal sekali mengapa dia pergi mengajak lima orang pembantunya yang pandai sehingga ketika wanita itu datang membunuh isterinya, Jeng-hwa-pang sedang kosong dari semua tokoh yang terpandai.

Dia percaya bahwa kalau dia berada di situ, tentu Kim Hong Liu-nio tidak akan begitu mudah membunuh orang, apalagi membunuh isterinya! Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Gak Song Kam ketika dia menyebar anak buahnya untuk mencari dan menyelidiki wanita itu, dia mendengar kabar bahwa wanita itu adalah seorang tokoh terkenal di utara, bahkan masih saudara seperguruan Raja Sabutai!

Lemaslah rasa tubuh ketua Jeng-hwa-pang itu mendengar ini. Tidak mungkin baginya untuk menyerbu istana Raja Sabutai yang dilindungi ribuan orang pasukan itu dengan seratus orang anak buahnya! Akan tetapi, kematian isterinya harus dibalas! Oleh karena itu, Gak Song Kam ini selalu mencari kesempatan untuk menantang Kim Hong Liu-nio, menantangnya secara pribadi, bukan sebagai keluarga Raja Sabutai! Tantangan yang lajim dilakukan oleh orang-orang di dunia persilatan dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan atau perkumpulan.

Demikianlah, kesempatan itu tiba ketika Kim Hong Liu-nio melakukan perjalanan menuju Lembah Naga bersama sutenya, yaitu Ceng Han Houw, hanya dikawal oleh tujuh belas perajurit pengawal. Kesempatan ini tidak disia-siakan dan cepat Gak Song Kam menyuruh seorang di antara pembantu-pembantunya yang pandai untuk mengirim surat tantangan kepada wanita itu. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, pembantu itu berhasil mengirimkan surat tantangan istimewa itu yang merupakan senjata-senjata maut berbahaya bagi penerimanya, namun yang dapat diterima dengan baik oleh Kim Hong Liu-nio.

Setelah mendengar berita dari pembantunya bahwa surat tantangannya telah diterima oleh wanita itu yang akan datang bersama seorang sutenya dalam kereta indah yang dikawal oleh tujuh belas orang pengawal, Jeng-hwa-pang menjadi sibuk mempersiapkan penyambutan terhadap musuh istimewa itu.

Sementara itu, Kim Hong Liu-nio yang menyeret tubuh Sin Liong telah tiba di dalam hutan di luar Lembah Naga, dimana Ceng Han Houw sedang menanti dengan tidak sabar dalam keretanya sambil meniup seruling. Han Houw amat suka meniup seruling.

Ketika melihat sucinya datang menyeret tubuh seorang anak laki-laki, Han Houw menyimpan sulingnya dan memandang heran. Apalagi ketika dia melihat anak laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun darinya itu telah membuka mata, telah siuman akan tetapi sedikitpun anak itu tidak mengeluarkan kata keluhan, bahkan memandang dengan mata melotot, dia menjadi makin terheran-heran.

Dia melihat sucinya melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah dan memandang penuh kebencian. Sin Liong terguling, akan tetapi lalu merangkak dan bangkit berdiri. Kedua kakinya menggigil, tanda bahwa dia lelah dan menahan nyeri akan tetapi matanya melotot dan sikapnya angkuh!

“Eh, suci. Siapakah bocah ini?” tanyanya heran melihat betapa sucinya yang biasanya tenang itu kini kelihatan marah-marah dan mendongkol.

“Bocah setan dia! Anak iblis dari neraka!”

Kim Hong Liu-nio memaki-maki sambil memandang dengan mata mendelik kepada Sin Liong. Anak itu juga membalas, memandangnya dengan melotot lebar.

“Wah, anak setan dan iblis?” Han Houw bertanya, matanya terbelalak dan dia memandang Sin Liong dari atas sampai ke bawah. “Kulihat tidak ada apa-apanya, kenapa disebut anak setan dan iblis?”

“Dia adalah anak dari Cia Bun Houw, musuh besar dari subo, musuh yang paling besar dari subo!” kata Kim Hong Liu-nio.

“Musuh yang paling besar dan paling ditakuti!”

Tiba-tiba Sin Liong berkata. Dia mendongkol sekali, dia tidak akan dapat mampu membalas semua siksaan, akan tetapi biarlah dia membalas dengan kata-kata menghina agar menyakiti hati wanita ini!

“Ah, begitukah? Kenapa anaknya hanya begini saja?” Han Houw bertanya penuh keheranan. Kalau ayahnya menjadi musuh utama yang kabarnya memiliki kepandaian hebat tentu anaknyapun hebat. “Eh, kenapa kau bilang bahwa suci takut kepada ayahmu?” tanya Han Houw yang mulai tertarik akan sikap bandel dan sama sekali tidak takut dari anak itu.

Sepasang mata Sin Liong memandang anak laki-laki yang berpakaian amat mewah itu dan kembali Han Houw terkejut. Mata anak ini seperti mata harimau saja, pikirnya. Hatinya makin tertarik.

“Sudah jelas takut! Beraninya hanya mengganggu aku, anak ayah yang masih kecil, tidak berani langsung berhadapan dengan ayahku!”

Han Houw tersenyum.
“Dan apakah kau tidak takut kepada suci?”

“Aku? Takut? Huh, paling-paling dia bisa membunuhku, akan tetapi dia pasti tidak akan lolos dari tangan ayahku. Anak harimau bisa saja dibunuh oleh kumpulan srigala, akan tetapi anak harimau tidak akan merasa takut.”

“Wah, wah, sombongnya! Kau menganggap dirimu anak harimau dan kami berdua kau namakan srigala? Wah, bukankah srigala itu anjing hutan? Celaka, suci, dia berani memaki kita anjing hutan!”

“Itulah! Dia memang anak setan!” Kim Hong Liu-nio mengomel.

“Kenapa tidak bunuh saja dia agar mulutnya tidak banyak mengoceh lagi?”

“Hemm, sute. Kalau kita membunuh dia, maka makiannya itu terbukti, kita menjadi seperti srigala membunuh seekor anak harimau seperti yang dikatakannya itu.”

“Eh, maksudmu...?”

“Dia lemah akan tetapi penuh keberanian, dan kita berarti hanya membunuh dan mengganggu anak-anak lemah saja.”

Han Houw menggangguk-angguk, kini dia menoleh dan memandang kepada Sin Liong dengan pandang mata haru, penuh kagum. Bocah ini luar biasa, pikirnya.

“Eh, siapa namamu?” dia bertanya, agak tersenyum dan suaranya ramah.

Diam-diam Sin Liong juga mengagumi anak laki-laki ini. Demikian tampan dan gagah, pikirnya, dan sekecil itu telah menjadi sute dari wanita iblis ini!

“Namaku Sin Liong... eh, Cia Sin Liong!” tambahnya, menekankan nama keturunan itu.

“Sin Liong? Naga sakti? Hemm, namamu sama sombongnya dengan sikapmu.”

“Aku tidak sombong, hanya paling benci kalau dikatakan takut. Aku tidak takut apapun. Dan kau siapa? Benarkah kau masih sute dari Kim Hong Liu-nio ini?”

Ceng Han Houw mengangguk. Hatinya senang. Baru sekarang ada bocah yang bicara kepadanya dengan sikap biasa, seperti dua orang yang sama derajatnya, seperti teman. Biasanya, semua orang yang bicara kepadanya, apalagi anak-anak, tentu kelihatan takut-takut dan bahkan dengan berlutut, memandang wajahnyapun tidak berani!

“Namaku Han Houw, aku she Ceng.”

“Ceng Han Houw? Namamu juga gagah sekali. Apakah kau juga pandai silat seperti sucimu ini?”

Melihat dua orang anak itu bicara seperti dua orang sahabat saja, Kim Hong Liu-nio menjadi tak senang.

“Anak cerewet! Kau kira engkau ini siapa? Tawanan, tahu? Sute, jangan layani dia!”

Akan tetapi Han Houw sudah seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru, merasa sayang untuk melepaskan begitu saja.

“Eh, Sin Liong, kau benar-benar tidak takut kepada kami?”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: