***

***

Ads

Selasa, 17 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 140

Bun Houw mengangguk-angguk dan benar-benar dia kagum akan pandangan yang luas dari pendekar itu.

“Koko, mengapa engkau masih mau mengurus jenazah subo?” Tiba-tiba In Hong juga mengajukan pertanyaan. “Setelah semua pengakuannya itu... setelah ternyata bahwa dia yang membunuh go-so (kakak ipar)... dia yang menghancurkan hidupmu, akan tetapi engkau masih merawat jenazahnya. Mengapa?”

Dara itu kini memandang wajah kakaknya dengan penuh kagum dan bangga. Kakaknya ini benar-benar seorang pendekar sakti yang hebat, bukan hanya hebat ilmunya seperti yang telah diperlihatkannya ketika bertanding melawan gurunya, akan tetapi juga hebat perangainya.

Kun Liong menghela napas lalu duduk di atas tanah berumput, memandang sejenak kepada adiknya dan kepada Bun Houw. Dia tahu bahwa adiknya berhati keras dan aneh, bahwa adiknya tidak mau dijodohkan begitu saja dengan Bun Houw. Dan di dalam hatinya dia tidak ingin melihat adiknya mengalami guncangan batin akibat cinta seperti yang banyak dialaminya selama ini.

Teringat dia akan semua pengalamannya, akan semua petualangannya ketika masih muda dahulu, petualangannya dalam asmara dengan banyak gadis cantik. Semua peristiwa itu, kematian isterinya, kekejaman Yo Bi Kiok, semua adalah akibat dari petualangannya itulah (baca cerita Petualang Asmara).

“Adikku, dan juga engkau, sute. Dengarlah dan agar kalian tidak usah heran mengapa sampai detik ini aku menaruh hati kasihan kepada Yo Bi Kiok, pembunuh dari isteriku yang tercinta. Dia membunuh isteriku bukan karena permusuhan pribadi, bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena... cinta kasihnya kepadaku.”

“Ahhh...!”

Bun Houw yang belum tahu akan riwayat suhengnya itu berseru kaget dan heran, akan tetapi In Hong yang sudah tahu hanya menunduk.

“Karena cintanya kepadaku, dia merasa cemburu dan iri kepada isteriku. Ah, kasihan Bi Kiok. Dia menjadi seperti gila karena cinta, cinta yang sebetulnya sama sekali bukanlah cinta. Orang yang mencinta tentu ingin melihat orang yang dicintanya hidup berbahagia! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta Bi Kiok. Dia mencinta diri sendiri dan cinta macam itu hanya menimbulkan kedukaan, kebencian dan kejahatan belaka. Betapapun juga, dia telah mengakui perbuatannya dan... dan rasa penasaran besar itu telah terbongkar. Rahasia yang hebat itu telah terbongkar dan legalah hatiku karena sekarang terbukti keyakinan hatiku selama ini bahwa encimu, sute, bahwa Giok Keng tidak berdosa. Akan tetapi... ah, diapun ikut berkorban hebat, suaminya tewas dan sekarang puteranya...”

Yap Kun Liong menundukkan mukanya, penuh penyesalan mengapa peristiwa yang menimpa dirinya itu merembet kepada keluarga Giok Keng.

“Sungguh hebat...!” dia melanjutkan. “Aku kehilangan isteri dan puteriku karena perbuatan Bi Kiok, akan tetapi akibatnya, encimu yang tidak tahu apa-apa telah kehilangan suami dan sekarang juga puteranya terbunuh oleb Bi Kiok. Aih, Bi Kiok, mengapa hatimu menjadi seganas itu? Kasihan anak itu... yang tidak berdosa.”






“Koko, anak itu tidak mati oleh Siang-tok-swa.”

Kun Liong mengangkat muka dan memandang adiknya dengan mata terbelalak, penuh harapan dan keheranan.

“Apa... apa maksudmu? Lie Seng...”

“Dia tidak mati. Aku sendiri yang telah mengobatinya,” jawab In Hong.

“Lie Seng tidak mati? Ya Tuhan, syukurlah...!”

Bun Houw juga berseru girang ketika memandang wajah gadis itu, akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu dan melihat kemarahan di pandang mata gadis itu, dia menunduk kembali, mukanya menjadi merah.

“Ketika aku pergi kepada Yok-mo di Gunung Cemara untuk mencari obat, di sana aku bertemu dengan anak laki-laki yang hampir mati karena terluka oleh Siang-tok-swa. Aku lalu mengobatinya dan dia sembuh, dia tidak mati. Aku yakin bahwa dia itulah anak yang kau maksudkan, koko.”

Kun Liong menjadi girang sekali.
“Bagaimana dia bisa berada di sana? Dan bagaimana pula secara kebetulan kau berada di tempat itu, moi-moi? Ceritakanlah!”

“Aku... aku pergi mencarikan obat...” gadis itu menunduk.

“Dia mencarikan obat untuk aku yang hampir mampus, suheng,” tiba-tiba Bun Houw menjawab cepat. “Aku menderita luka-luka parah oleh Bayangan Dewa dan kalau tidak ada adikmu ini, agaknya sekarang aku sudah mati.”

“Ahhh...!” Kun Liong makin girang dan memandang adiknya yang menjadi merah mukanya.

“Bohong! Dia memang terluka dan aku mencarikan obat kepada Yok-mo. Disana aku bertemu dengan seorang pendeta yang datang membawa anak laki-laki yang luka-luka oleh Siang-tok-swa itu. Kami berebutan untuk memperoleh pertolongan Yok-mo. Pendeta itu lihai bukan main dan aku lalu menukar obatku untuk menyembuhkan anak itu dengan pelajaran Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang...”

“Hehh...?” Tiba-tiba Bun Houw meloncat ke atas mengejutkan In Hong dan Kun Liong. “Kalau begitu dia adalah suhu!”

Kini Kun Liong juga kaget.
“Apa? Gak-hu (ayah mertua)?”

In Hong menjadi bingung mendengar Bun Houw menyebut guru kepada pendeta itu dan kakaknya menyebut ayah mertua. Hal ini sama sekali tidak disangka-sangkanya.

“Dia seorang pendeta Lama berjubah merah, bertubuh tinggi besar dan...”

“Dia suhu!” Bun Houw berseru.

“Jelas, dia adalah gak-hu. Aih, sungguh kejadian yang kebetulan sekali!” Kun Liong berkata dengan wajah girang. “Kalau begitu, putera encimu itu berada di tangan gak-hu dan keselamatannya terjamin, sute.”

Bun Houw mengangguk dan memandang kepada In Hong, kemudian berkata,
“Kalau begitu, engkau terhitung adalah sumoiku sendiri.”

In Hong menggeleng kepala.
“Dia berpesan bahwa aku tidak boleh mengaku dia sebagai guru, dan memang demikianlah perjanjiannya.”

Diam-diam gadis ini kagum sekali. Pantas saja Cia Bun Houw ini demikian lihainya, kiranya pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini adalah murid pendeta Lama sakti itu!

“Urusan encimu sudah beres, sute, sekarang aku harus pergi untuk mencari anakku. Anakku melarikan diri ketika ibunya terbunuh dan sampai kini tidak kuketahui ke mana perginya. Engkau pulanglah ke Cin-ling-pai untuk melaporkan soal Siang-bhok-kiam kepada ayahmu dan sampaikan pula berita pengakuan Yo Bi Kiok kepada keluargamu, jangan lupa beritakan tentang Lie Seng yang sudah berada di tangan gak-hu itu kepada ibumu. Aku sendiri akan mencari jejak puteriku, dan... kalau kau suka, adikku, marilah kau ikut bersamaku...”

Dia memandang kepada adiknya dengan sinar mata penuh kasih. Isterinya telah tewas, puterinya telah hilang dan kini dia menemukan kembali adiknya yang agaknya telah kembali ke jalan benar.

Akan tetapi In Hong menggeleng kepalanya.
“Aku masih mempunyai urusan, koko. Biarlah kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi ke Leng-kok dan selanjutnya aku akan hidup disana bersama kakakku.”

Kun Liong melangkah maju dan memegang kedua tangan adiknya, digenggamnya kedua tangan adiknya dengan mesra.

“In Hong, adikku. Keadaan telah memaksa kita saling berpisah. Kakakmu ini telah mengalami banyak penderitaan hidup. Mudah-mudahan saja engkau tidak akan seperti kakakmu. Hanya pesanku, jangan terlalu menurutkan perasaan, adikku, bersikaplah bijaksana dan mudah-mudahan kalau sekali waktu cinta menguasai dirimu, semoga cintamu itu bukan seperti cinta kasih mendiang Bi Kiok kepada kakakmu. Mengertikah engkau, adikku?”

In Hong terharu. Ingin dia merangkul kakak kandungnya itu, akan tetapi dia menggigit bibir mengeraskan hatinya, lalu mengangguk.

Kun Liong melepaskan tangan adiknya.
“Nah, kalau begitu, selamat tinggal, selamat berpisah sampai jumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi.”

Pendekar ini sekali lagi menengok ke arah gundukan tanah kuburan Yo Bi Kiok, menghela napas panjang lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.

**** 140 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: