***

***

Ads

Jumat, 06 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 097

Yang merasa paling tidak enak dalam pertempuran itu adalah Bun Houw. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa tiga orang muda itu dia perbolehkan membantunya menyerbu Ngo-sian-chung, karena sebelumnya diapun maklum akan bahayanya pekerjaan ini, bahkan Tio Sun sendiripun sudah menyatakan betapa fihak lawan amat berbahaya dan lihai.

Bagi dirinya sendiri, dia akan rela mengorbankan nyawa kalau perlu demi untuk mencari Siang-bhok-kiam dan membasmi musuh-musuh Cin-ling-pai, untuk mencuci penghinaan yang diderita oleh orang tuanya. Akan tetapi, tiga orang muda itu, terutama Kwi Eng, hanyalah orang-orang muda yang merasa bersahabat dengan dia dan dengan orang tuanya. Kalau sampai kini mereka menjadi korban, benar-benar membuat dia merasa tidak enak sekali.

Pikiran ini membuat Bun Houw menjadi marah terhadap para musuhnya.
“Tio-twako...! Adik Kwi Beng dan Kwi Eng...! Larilah kalian bertiga, biar aku sendiri yang membasmi mereka!”

Teriaknya dengan suara nyaring sekali, pedangnya berkelebat seperti halilintar membabat ke arah tubuh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw dengan kekuatan yang amat hebat sehingga pedang itu mengeluarkan suara mengaung seperti ribuan ekor lebah beterbangan.

Dua orang sakti ini terkejut, maklum betapa berbahaya sambaran pedang ini sehingga mereka tidak berani menangkis, dan cepat mereka meloncat ke belakang untuk menyelamatkan diri.

Akan tetapi, pedang itu meluncur lepas dari tangan Bun Houw, merupakan sinar panjang berkelebat dan terbang dengan cepat, menyambar tubuh tiga orang pengeroyok, merobohkan mereka itu dengan leher hampir putus akan tetapi masih terus “terbang” seperti seekor naga hidup, membuat gerakan memutar dan kembali ke arah Bun Houw yang begitu pedang dilepaskan lalu menghantam ke arah kanan kiri, depan belakang dengan kedua kepalan tangannya sambil mengeluarkan pekik melengking amat dahsyatnya.

Sambaran kedua tangannya yang memukul ini membuat Hwa Hwa Cinjin yang menggerakkan kebutannya dengan pengerahan tenaga lwee-kang sebagai seorarig ahli lwee-keh yang kuat, tak dapat menahan dan kakek ini terhuyung dengan muka pucat, sedangkan empat orang pengeroyok lain roboh pula seperti pohon-pohon ditebang! Itulah jurus Hong-tian-lo-te (Badai Mengamuk di Bumi) yang amat hebat, merupakan jurus mujijat dan ampuh sekali dari ilmu pedangnya.

Ketika pedang yang telah merobohkan tiga orang pengeroyok itu “terbang” membalik, Bun Houw sudah menangkapnya kembali dan karena para pengeroyoknya gentar dan terpaku menghadapi jurus Hong-tian-lo-te yang mujijat tadi, dia cepat meloncat ke depan, merobohkan dua orang pengeroyok yang sedang mengepung Tio Sun.

Hal ini membuat kepungan yang mendesak Tio Sun menjadi bobol dan Tio Sun dapat menguasai keadaannya lagi, akan tetapi segera Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw dan para pembantu lainnya sudah mengepung Bun Houw lagi dengan serangan-serangan maut dan kepungan ketat.

Bun Houw gelisah sekali melihat betapa Kwi Beng dan Kwi Eng didesak dan dipancing sehingga menjauhi tempat dia bertempur. Dan memang demikianlah siasat yang dijalankan oleh para tokoh kaum sesat itu. Kwi Beng terus didesak oleh Ciok Lee Kim dan dipaksa menjauhi tempat itu, demikian pula Kwi Eng terus didesak oleh Bu Sit sampai keluar dari lapangan itu dan tidak kelihatan oleh kawan-kawanannya.






Ketika Kwi Eng dengan kemarahan meluap-luap mencoba untuk membuka jalan darah, menerobos dari kepungan, dia berhasil melukai dua orang pengeroyok yang membantu Bu Sit, akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangannya terasa sakit, terbelit ujung cambuk baja di tangan Bu Sit.

Orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini tertawa mengejek, sekali dia menarik senjatanya, Kwi Eng menjerit dan pedangnya terlepas, karena pergelangan tangan kanannya seperti hendak patah rasanya.

Pada saat itu, seorang pengeroyok lain menggunakan gagang tombak memukul ke arah kakinya dari belakang. Serangan ini tak dapat dihindarkan oleh Kwi Eng. Terdengar suara tulang patah dan dara ini mengeluh perlahan lalu terguling, tulang kaki kirinya dekat pergelangan telah patah.

“Desss!”

Bu Sit menendang orang yang mematahkan tulang kaki Kwi Eng itu.
“Keparat, kau lukai dia?” bentaknya.

Para pengeroyok itu menjadi ketakutan dan mereka lalu mundur dan membantu teman-teman yang lain, yang masih mengeroyok tiga orang muda lainnya, sedangkan Bu Sit sudah menubruk Kwi Eng, ditotoknya pundak dara itu, kemudian dia memondong tubuh Kwi Eng dan dibawa lari keluar dari dusun menuju ke sebuah hutan kecil di lembah sungai.

“Adik Beng...! Di mana Eng-moi...?”

Bun Houw yang dikepung ketat itu masih sempat berteriak dan bertanya kepada Kwi Beng yang dilihatnya makin didesak menjauhinya oleh Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim.

Akan tetapi Kwi Beng hampir tidak sempat menjawab.
“Tidak tahu...!” hanya demikianlah dia mampu menjawab karena Ciok Lee Kim dengan dua helai saputangan suteranya sudah membuat dia terengah-engah kehabisan napas dan pandang matanya berkunang.

“Pemuda ganteng, marilah kau ikut aku bersenang-senang...”

Ciok Lee Kim berbisik dan saputangannya yang berbau harum itu mengelus dagu Kwi Beng. Sudah sejak tadi Ciok Lee Kim membentak para pembantunya untuk mundur dan kini dia seorang diri mendesak Kwi Beng yang sudah kewalahan.

Kwi Beng kini juga kehilangan adiknya dan dia mulai bingung, memandang ke sana ke mari untuk mencari adiknya. Tentu saja sikapnya ini amat tidak menguntungkan karena dengan penuh perhatian saja daya tahannya sudah mulai lemah menghadapi hujan totokan kedua saputangan Ciok Lee Kim, apalagi sekarang dia memecah perhatiannya.

“Cus-cus... plakk!”

Dua kali ujung saputangan itu menotok jalan darah di leher dan pundak, sedangkan telapak tangan Ciok Lee Kim menampar belakang telinga dan tanpa mengeluh lagi Kwi Beng roboh pingsan dalam pelukan Ciok Lee Kim dan seperti juga Bu Sit, wanita yang tak dapat menahan diri setiap kali melihat pemuda tampan ini lalu memondong tubuh Kwi Beng dengan girang dan membawanya pergi dari dusun itu.

Andaikata melihat bahwa fihak mereka terancam bahaya oleh musuh, tentu saja dua orang Bayangan Dewa itu tidak akan meninggalkan gelanggang pertempuran dan betapapun mereka tergila-gila kepada orang-orang muda yang menjadi korban mereka itu, tentu mereka akan membantu teman-teman untuk menundukkan fihak musuh.

Akan tetapi mereka tadi sudah melihat jelas bahwa biarpun pemuda she Bun dan pemuda putera pengawal Tio Hok Gwan itu memiliki kepandaian tinggi, namun merekapun sudah terkurung dan terdesak, tinggal menanti robohnya saja maka mereka berdua tidak perlu lagi membantu.

Memang Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan si kepala monyet Bu Sit tidak keliru dengan dugaan mereka bahwa fihak musuh sudah terdesak hebat. Bun Houw sendiri yang memiliki kepandaian amat tinggi, kini mulai terdesak hebat. Dia makin marah dan menyesal kalau mengingat bahwa yang mengurungnya bukan orang-orang Lima Bayangan Dewa, melainkan tiga orang tokoh tua yang berilmu tinggi.

Maka mulailah dia mengambil keputusan untuk menurunkan tangan maut terhadap tiga orang musuhnya ini. Tadinya dia selalu menghindarkan serangan maut karena dia selalu ingat akan pesan ayah ibunya agar jangan sampai menanam bibit permusuhan dengan golongan lain dan hanya menghadapi Lima Bayangan Dewa saja. Sebagai contoh, ayahnya menceritakan betapa ayahnya dahulu terlalu banyak menentang golongan sesat sehingga akibatnya, sampai tuapun dia masih dimusuhi orang!

“Tahan...!” bentak Bun Houw sambil memutar pedang yang berobah menjadi gulungan sinar berkilauan sehingga musuh-musuhnya cepat mundur. “Sam-wi tiga orang tua mengapa bersikeras mencampuri urusan kami dari Cin-ling-pai dengan Lima Bayangan Dewa? Saya sama sekali bukan takut, hanya saya tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan orang-orang yang bukan dari Lima Bayangan Dewa.”

Bouw Thaisu mengangguk-angguk, hatinya kagum bukan main karena baru sekarang selama hidupnya, dia bertemu lawan yang begini muda namun yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebatnya.

“Orang muda, kalau tidak ada alasan kuat yang memaksa aku orang tua mati-matian menghadapimu, tentu aku akan malu sekali mengeroyok seorang pemuda seperti engkau yang sepantasnya menjadi cucuku. Ketahuilah, seorang sahabat baikku yang melebihi saudara kandungku sendiri, yaitu Thian Hwa Cinjin, telah tewas di tangan keluarga ketua Cin-ling-pai! Kami di waktu muda pernah bersumpah bahwa kami akan saling membela, maka mendengar kematiannya, tentu saja aku tidak mau melanggar sumpah dan sebelum aku mati, aku harus menghadapi ketua Cin-ling-pai dan keluarganya.”

Bun Houw mengerti bahwa kembali hal ini adalah sebagai akibat dari orang tuanya yang terlalu banyak menentang golongan hitam.

“Dan kau boleh mengetahui bahwa pinto (aku) adalah sute dari Toat-beng Hoat-su yang biarpun tewas di tangan mendiang The Hoo, akan tetapi juga menjadi musuh dari ketua Cin-ling-pai dan golongannya. Dan Hek I Slankouw ini merupakan tangan kananku, sehidup semati denganku.”

Bun Houw mengerutkan alisnya.
“Sam-wi adalah tiga orang tua yang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa berpandangan picik dan dikuasai oleh dendam kosong yang tidak ada artinya? Apakah sam-wi tidak tahu bahwa sam-wi diperalat oleh Lima Bayangan Dewa?”

“Cukup, kalau kau takut, menyerahlah, orang muda yang sombong!”

Hwa Hwa Cinjin yang biarpun sikapnya halus akan tetapi sebenarnya hatinya dipenuhi rasa penasaran dan malu karena menghadapi seorang pemuda saja, biarpun telah mengeroyok bersama Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu masih belum dapat menang, sudah menerjang lagi dengan kebutannya.

“Wiir... siuuuuttt...!”

Ujung kebutan menyambar ke arah mata Bun Houw, akan tetapi begitu dielakkan, seperti ekor ular yang hidup saja ujung kebutan itu sudah membalik dan menotok ke arah ulu hati!

“Kalau begitu, maaf kalau aku menjadi sebab kematian sam-wi!”

Bun Houw membentak, tiba-tiba tangan kirinya mendorong dan ujung kebutan itu seperti digerakkan tangan yang tidak kelihatan, membalik dan menotok ke arah dada Hwa Hwa Cinjin sendiri!

“Aihhh...!”

Bukan main kagetnya hati kakek ini dan cepat dia menggerakkan tangan menarik kebutannya yang hendak menyerang dirinya sendiri.

“Singgg... tranggg... aihhhh!”

Hek I Siankouw menjerit karena pedangnya yang sudah dia gerakkan untuk menyusul serangan Hwa Hwa Cinjin tadi kini kena disentil oleh kuku jari tangan kiri Bun Houw, pedang itu tergetar dan selagi nenek itu terkejut, pedang di tangan kanan Bun Houw sudah menyambar ke arah lehernya!

“Plakkk...! Hemm, kau hebat, orang muda!”

Bouw Thaisu sempat menangkis pedang yang mengancam nyawa Hek I Siankouw tadi dengan tangkisan ujung lengan bajunya, akan tetapi ketika dia melihat, ternyata ujung lengan bajunya itu terobek!

Kini Bun Houw yang sudah marah sekali itu telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yaitu ilmu sin-kang simpanan yang dia latih selama bertahun-tahun di bawah gemblengan Kok Beng Lama. Thian-te Sin-ciang ini merupakan ilmu tangan kosong yang amat mujijat, mengandung tenaga dahsyat dan ketika pemuda ini diuji oleh ayahnya sendiri. tenaga Thian-te Sin-ciang ini bahkan mampu menghadapi Thi-khi-i-beng, yaitu ilmu sin-kang yang tiada taranya, yang dapat menyedot hawa murni lawan!

Maka tidaklah terlalu mengherankan ketika pemuda perkasa ini mulai mengerahkan Thian-te Sin-ciang, dia sekaligus mampu membuat tiga orang lawannya yang amat lihai itu terdesak mundur!

Akan tetapi, kini mereka bertiga sudah maju lagi dan kehebatan Bun Houw bahkan membuat mereka menjadi makin berhati-hati dan kini mereka melakukan penyerangan secara teratur bahkan saling membantu karena mereka maklum bahwa biarpun mereka bertiga maju bersama, tanpa kerja sama dan saling bantu, amatlah berbahaya bagi mereka!

Dewi Maut







Tidak ada komentar: